Senin, 29 April 2013

ISLAM DAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN


A.    ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN

Islam adalah agama yang membawa perubahan yang besar, yang mendunia,yang dikenal diseluruh dunia, seluruh pojok, bahkan seluruh sudut. Islam turun adalah memberikn atau mengajarkan sesuatu hal yang baru. Dalam pembahasan ini yang kita singgung adalah pada bagianilmu pengetahuan.
Ilmu pegetahuan yang dalam islam disebut ‘ilm sedangkan orang barat menyebutnya knowledge. Dalam system epistemology anapun tidak akan tertinggal suatu pertanyaan yang pokok untuk menentukan suatu pengetahuan. Pertanayaan itu ada dua, dimana kedua pertanaan ini saling melengkapi, pertanyaan yang pertama adalah apa yang dapat kita ketahui, dan yang kedua adalah bagaimana mengetahuinya.
Untuk menjawab kedua pertanyaan itu perlu diuraikan bahwa pertanyaan pertama adalah pertanyaan yang isi dari jawabannya mengenai teoro dan isi dari pada ilmu. Sedangkn yang kedua adalah metodologi[1].
Sangat berbeda adanya antara muslim atau orang islam dalam memandang ilmu dan orang barat dalam memandang ilmu, pandangan orangbarat dalam menilai ilmu pengetahuan adalah semua hal yang dapat kita ketahui adalah segala sesuatu yang sejauh ia dapat diobservasi secara indrawi. Selama pengetahuan yang bersifat indriawi dalam artian nyata,maka hal sperti inilah yang disebut ilmu pengetahuan, sedangan yang bersifat nonindriawi, nonfisik, dan metafiika tidak termasuk objek ilmupengetahuan, karena tidak dapat diketahui secara ilmiyah.
Dalam pandangan muslim atau islam, mereka berpendapat bahwa kita bisa mengetahui bukan hanya objek-objek fisik melainkan juga objek-objek nonfisik, seperti konsep-konsep mental dan metafisika. Disamping entitas-entitas fisik, demikian tidak mustahil untul mengetahui makhluk-makhluk halus, seperti jin malaikat dan ruh.
Dari pola piker seperti inilah, epistemology islam telah berhasilmenyusun ”klasifkasi ilmu” Yng komperhensif dan disusun secara herarkis. Yaitu:
Metafisika                         (menempati posisi tertinggi )
Matematika                      (menempati posisi kedua )
Ilmu-ilmu fisik                  (menempati posisi terahir)[2].
Dari trikotomi seperti itu lahir berbagai disiplin ilmu rasional dalam dunia islam, seperti:
1.      Ontolagi
2.      Teologi
3.      Kosmologi
4.      Angeologi
5.      Eksatologi


Dan yang termasuk kedalam ilmu-ilmu metafisika diantaranya:
1.      Geometri
2.      Aljabar
3.      Aretmatika
4.      Music
5.      Trigonometri


Sedangan yang termasuk ilmu matematika, fisika, kimia, geologi, geografi, astronomi, optika, dan sebagainya yang termasuk ilmu-lmu fisik[3].
Untuk menangkap atau mengetahui objek-objek daripada ilmu dapat kita menggunakan tiga metode yaitu metode obserfasi(bayani), metode logis atau demonstrative(burhani), dan yang ketiga adalah metode intuitif (‘irfani), dimana ketiga metode memiliki cirri khusus, ketiga metode tersebut akan diuraikan pada sup bab selanjutnya.
B.     METODE OBSERFASI (BAYANI)
Pada metode obserfasi ini digunaan untuk melakukan pengamatan-pengamatan yang bersfat fisik atau indriawi, para filosof muslim yang pada umumnya juga ilmuan, menggunakan metode ini untuk pengamatan-pengamatan indriawinya. Misalnya adalah filosof  ternama Al-kindi dia bukan hanya seorang filosof melainkan ilmuan yang menggunakan metode obserfasi atau epistemologi bayani ini, dilaboratorium kimia dan fisikanya. Sementara nasir Al-Din Thusi mengadakan pengamatan astronomi diobservatoriumnya yang terkenal di Maraghah. Demikian juga metode ini dipergunakan oleh Ibnu haistam dalam eksperimennya dibidang obtik mengenai cahaya dan teori pengelihatan(vision) dan yang berkaitan dengan itu, sepetrti pelangi, refraksi, dan reflaksi[4].
Masih ada banyak lagi diantaranya ahli kedokteran, filosof, dan ilmuan islam yang terkenal, tidak lain adalah Ibn Sina, dilaporkan telah melakukan obsrfasi yang seksama terhadap ratusan jenis tumbuhan dan bermacam-macam hewan, dilhat dari manfaat medis ataupun nutritifnya, hasil-hasil obserfasi itu diatuliskan dalam kitab kedokterannya yang terkenal, Al-Qanun Al-Thib. Ada laporan lain yang mengatan bahwa Ibn Sina telah banyak membuat penelitian sendiri, termasuk tentang meningitis, cara tersebarnya epidemik. Dan sifat menular tuberkulosis. Selain itu,ilmuan-ilmuan musilim, seperti Ibn Hazm dan Ibn Taimiyah, telah dikenal sebagai perintis metode induksi, sebagai pelengkap dari metode deduksi yang umumnya telah dipaai oleh para pemikir dari yunani yag cenderung berhenti  pada pemikiran spekulatif.
Dari penelitin orang barat yang berputar-putar pada penelitian ilmiah, maka orang islam, ilmuan-ilmuan musim, yang sekaligus sebagai filosof, melanjutkan penelitian itu ke bidang-bidang yang nonfisik, baik yang bersifat matematis maupun metafisis. Dari uraian tersebut pasti tersirat pertanyaan, dalam hubungannya dengan metodologi yang digunakan sebagai dasar dalam penggunaan metode obserfasi adalah hasil obserfasi, maksudnya adalah sesuatu yang nyata sudah terbukti keberadaannya, lantas bagaimana dengan penelitian yang nonfisik, apa yang digunakan sebagai dasar atau pegangan?. Maka jawaban dari pertanyaan itu adalah dua pegangan yang dijadikan dasar dalam penilitian nonfisik yaitu akal pikira dan perasaan hati.
Para filosof dan ilmuan islam mengutarakan bahwa bukanlah ilusi yang tidak mempunyai basis ontologis, tetapi entitas-entitas real, yang oleh para filosof disebut ma’qulaat yang sama realnya dari sudut status ontologisnya. Dengan objek-objek indriawi(mahsusaat). Dengan kemampuannya untuk menangkap makna bukan hanya dari objek-objek indriawi melainkan juga objek-objek nonindriawi.
Namun sebagaimana observasi indra bisa keliru, dan karena itu dibutuhkan verifikasi terhadap hasil-hasilnya, demikian juga penilitian akal juga bisa keliru, kalau tidak mematuhi aturan-aturan berfikir yang benar, yang kita sebut dengan logika. Aristoteles merumuskan bahwa logika merupakan metode untuk memahami objek-objek onfisik. Meskipun begitu para filosof mengaku adanya beberapa tingkat ata jenis dari metode logis ini, dilihat dari keakuratannya yaitu metode poetika (syi’ir), retorika (khitabi), dialektika (jadali),  sofistika (mughaliti), dan terahir demonstratif (burhani).
C.     METODE DEMONSTRATIF (BURHANI)
Metode ini dipandang sebagai metode yang paling ilmiah, yang diharapkan dapat menangkap realitas objek-objek yang ditelitinya dengan tepat, karena telah terhindar dari kekelruan-kekeliruan yag logis(logcal fallacies). Yang disebut terahir ini dipahami sebagai beberapa cara atau prosedur yang keliru dalam pengambilan kesimpulan dari prems-premisnya, sebuah mekanisme yang dikenal dalam dunia filsafat sebagai silogisme, karena itu bisa menghambat atau menghalangi akal untuk menangkap realitas dengan benar.
Menurut para filosof, inilah yang mereka pergunakan dalam penelitian ilmiah mereka, skalpun se-sekali menggunakan metode dialektik yang biasanya diprgunakan oleh para teolog. Adapun perbedaan antara demonstratif dan dialetik ini adalah terletak pada dasar premis mereka, premis-premis dasar demonstratif didasarkan pada pengetahuan ilmiah. Sementara pada premis dialektis berdasar pada opini.
Hasil dari penelitian rasional oleh para filosof mslim luar biasa besarnya. Berjilid-jilid para filosof dan ilmuan muslim menuliskan hasil-hasil riset mereka, baik yang bersifat filosofis ataupun yang bersifat ilmiah, karena pada saat itu ilmu-ilmu filsafat belum terpisahkan dengan ilmu-ilmu rasional lainnya, sebuah pemisahn yang menandai feoena modern. Ibn sina menuliskan hasil penelitan filosofisnya dalam ratusan karya, beberapa diantaranya: Al-Syifa’ yang dibuat lebih dari limabelas jilid-dimana didalamnya membahas ilmu-lmu metafisika, matematika, fisika, dan logika secara intensif. Adapun karya monumentalnya dibidang kedokteran adalah Aal-Qanun fi Al-Thib, yang membahasbukan saja ilmu kedokteran melainkan juga terekait seperti farmasi dan zoologi.
Karya-karya filosofis lainnya dapat dilihat dari komentar-kometar Ibn Rusyd(w.1198) atsas karya-karya aristoteles dan plato, serta karya teosofis suhrawardi (w. 1191), terutama hikmah Al-Isyraq, dan Mulla Syarda (w. 1641), Al-Asfar Al-Arba’ah. Karya-karya  besar mereka telah banyak menyumbang khazanah intelektual muslim. Karya tulis inipun telah mengambil banyak ide dari karya-karya mereka, dan tidak mungkin terwujud tanpa sumbangan mereka yang begitu kaya[5].
D.    METODE PENDEKATAN INTUITIF (IRFANI)
Berbeda dengan pendekatan rasional, pendekatan intuitif(irfani) disebut pendekatan presensial(presencial) karena objek-objeknya hadir(present) dalam jiwa seseorang, dan karena itu modus seperti itu disebut ilmu hudhuri(knowledge by presence). Oleh karena obek-objek yang ditelitinya hadir dalam jiwa, kita bisa mengalami dan merasakan, dan dari sinilah istilah dzauki(rasa) timbul. Selain itu, objek-objek itu juga bisa diketahui secara langsung karena tidak ada pembatas yang membatasi peneliti dengan objek-objek yang diteliti, karena telah terjadi esatuan antara subjek dan objek, antara yang mengetahui dan diketahui.
Berkaitan dengan pemilahan ilmu kedalam bahtsi dan dzauqi, Suhrawardi menyebutkan tiga macam kemampuan manusia. Ada yang seperti sufi, memiliki pengalaman dzauqi yang sangat dalam, tetapi tidak mampu mengungkapkannya kedalam bahasa filosofis yang diskursif. Ada juga yang seperti filosof, mempunyai kemampuan mendeskrepsikan pikiran-pikiran mereka secara filosofis-diskursif, tetapi tidak memiliki pengalaman mistik yang mendalam, dan terahir ada para muta’allih, yang memiliki pengalaman mistik yang mendalam, seperti para sufi, tetapi juga memiliki kemampuan bahasa filosofis yang diskursif, seperti yang dimiliki para filosof.kelompok ketiga inilah yang dinilai oleh suhwardi sebagai kelompok tertinggi dari para pencari kebenaran.
Dunia islam dihiasi oleh karya-karya mistik yang agung dan sangat inspirasional, seperti Fushul Al-Hikam dan Al-Futuhat Al-Makkiiyah karangan Ibn ‘arabi (w. 1240), Manthiq Al-Thair karangan Farid Al-Din ‘Aththar(w. 1214), yang merupakan narasi spiritualtentang perjalanan yang ditempuh para hamba menuju tujuan mereka. Demikian juga karya puitis mistik agung, Al-Matsnawi Al-Ma’nawi karangan Jalal Al-Din Rumi.


[1] Mulyadhi kartanegara, “menembus batas eaktu: panorama filsafat islam”, (bandung: mizan 2002), h. 58.
[2] Osman bakar, “hierarki ilmu: membangun rangka piker ilamisasi ilmu”, (bandung: mizan), 1997.
[3] Mulyadhi kartanegara, loc. Cit.
[4] Ibid, h.62.
[5] Ibid h.65

Tidak ada komentar:

Posting Komentar