A. Pengertian fenomenologi
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani
phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti
memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan.
Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian
terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua
pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu
tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang
gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh
Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat
dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian
dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Namun istilah
fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl. Istilah fenomenologi secara
filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam
kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya
adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek
pengalaman inderawi (fenomen).
Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif
serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan
pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta
indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan
tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan
batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran,
dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.
Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai
metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga
kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan
ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri
menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia)
serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk
mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman
serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut
Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada.
Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda
itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan
objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.[1]
Husserl sangat tertarik
dengan penemuan makna dan hakikat dari pengalaman. Dia berpendapat bahwa
terdapat perbedaan antara fakta dan esensi dalam fakta, atau dengan kata lain
perbedaan antara yang real dan yang tidak. Berikut adalah komponen konseptual dalam fenomenologi transcendental Husserl:
a.
Kesengajaan (Intentionality)
Kesengajaan
(intentionality) adalah orientasi pikiran terhadap suatu objek (sesuatu)
yang menurut Husserl, objek atau sesuatu tersebut bisa nyata atau tidak nyata.
Objek nyata seperti sebongkah kayu yang dibentuk dengan tujuan tertentu dan
kita namakan dengan kursi. Objek yang tidak nyata misalnya konsep tentang
tanggung jawab, kesabaran, dan konsep lain yang abstrak atau tidak real.
Husserl menyatakan bahwa kesengajaan sangat terkait dengan kesadaran atau
pengalaman seseorang dimana kesengajaan atau pengalaman tersebut dipengaruhi oleh
faktor kesenangan (minat), penilaian awal, dan harapan terhadap objek. Misalnya
minat terhadap bola akam menentukan kesengajaan untuk menonton pertandingan
sepak bola.
b.
Noema dan
Noesis
Noema atau noesis merupakan turunan dari
kesengajaan atau intentionality. Intentionality adalah maksud memahami sesuatu,
dimana setiap pengalaman individu memiliki sisi obyektif dan subyektif. Jika
akan memahami, maka kedua sisi itu harus dikemukakan. Sisi obyektif fenomena
(noema) artinya sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan,
atau sekalipun sesuatu yang masih akan dipikirkan (ide). Sedangkan sisi
subyektif (noesis) adalah tindakan yang dimaksud (intended act) seperti merasa,
mendengar, memikirkan, dan menilai ide.
c.
Intuisi
Intuisi yang masuk dalam unit analisis Husserl
ini dipengaruhi oleh intuisi menurut Descrates yakni kemampuan membedakan “yang
murni” dan yang diperhatikan dari the light of reason alone (semata-mata
alasannya). Intuisilah yang membimbing manusia mendapatkan pengetahuan. Bagi
Husserl, intuisilah yang menghubungkan noema dan noesis. Inilah sebabnya
fenomenologi Husserl dinamakan fenomenologi transendental, karena terjadi dalam
diri individu secara mental(transenden).
d. Intersubjektivitas
Makna intersubjektif ini dijabarkan oleh Schutz.
Bahwa makna intersubjektif ini berawal dari konsep ‘sosial’ dan konsep
‘tindakan’. Konsep sosial didefinisikan sebagai hubungan antara dua atau lebih
orang dan konsep tindakan didefinisikan sebagai perilaku yang membentuk makna
subjektif. Akan tetapi, makna subjektif tersebut bukan berada di dunia privat
individu melainkan dimaknai secara sama dan bersama dengan individu lain. Oleh
karenanya, sebuah makna subjektif dikatakan intersubjektif karena memiliki
aspek kesamaan dan kebersamaan (common and shared).[2]
B.
Fenomenologi
sebagai metode ilmu
Fenomenologi
berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya.
Fenomena disini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu
tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun
berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting
ialah pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat
mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali.
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah
menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan
suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu
mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang
fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat
fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara
menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya.
Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.
Husserl
mengajukan metode
epoche untuk mencapai esensi fenomenologi. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan”
atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti
tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu
fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu.
Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri
oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting:
Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam
kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran.
Selanjutnya, menurut Husserl
epoche mempunyai empat macam, yaitu:
1.
Method of
historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan
pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adapt,
agama maupun ilmu pengetahuan.
2.
Method of
existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap
keputusan atau sikap diam dan menunda.
3.
Method of
transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang
transcendental dalam kesadaran murni.
4.
Method of
eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang
realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.[3]
[1] “Mengenal Filsafat Fenomenologi” dari http://rumahmakalah wordpress.com/2009/05/18/mengenal-filsafat fenomenologi/ diakses pada tanggal
29 Mei 2012.
[2] Widyadana,
“Fenomenologi: Metode Penelitian Kualitatif” dari http://id.shvoong.com/books/dictionary/1967914-fenomenologi-metode-penelitian-kualitatif/#ixzz1wLKfuOEs di akses pada tanggal 29 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar