A. Pengertian Hermeneutika
Istilah hermeneutika berasal dari kata Yunani;
hermencuein,yang artinya diterjemahkan "menafsirkan", kata bendanya: hermeneia
artinya "tafsiran". Dalam tradisi Yunani kuno kata hermeneuein
dipakai dalam tiga makna, yaitu mengatakan (to say), menjelaskan (to
explain), dan menerjemahkan (to translate).
Dari tiga makna ini,
kemudian dalam kata Inggris diekspresikan dengan kata: to interpret, Dengan
demikian perbuatan interpretasi menunjuk pada tiga hal pokok: pengucapan lisan (an
oral recitation), penjelasan yang
masuk akal (areasonable explanation), dan terjemahan dari bahasa lain (a
translation from another language), atau mengekspresikan.[1]
Menurut
istilah, hermeneutika biasa dipahami sebagai: "the art and science of
interpreting especially authoritative writings; mainly in application to sacred
scripture, and equivalent to exegesis" (seni dan ilmu menafsirkan
khususnya tulisan-tulisan berkewenangan, terutama berkenaan dengan kitab suci
dan sama sebanding dengan tafsir). Ada juga yang memahami bahwa hermeneutika
merupakan sebuah filsafat yang memusatkan bidang kajiannya pada persoalan "understanding
of understanding (pemahaman pada pemahaman)'' terhadap teks, terutama teks
Kitab Suci, yang datang dari kurun, waktu, tempat, serta situasi sosial yang
asing bagi paia pembacanya.
Istilah hermeneutika sering dihubungkan dengan nam a Hermes, tokoh
dalam mitos Yunani yang bertugas menjadi perantara antara Dewa Zeus dan
manusia. Namun dalam perkembangan selanjutnya
definisi hermeutika ini mengalami perkembangan,
yang semula hermeneutika dipandang sebagai ilmu
tentang penafsiran (science of interpretation). Dalam perkembangan selanjutnya definisi hermeneutika
menurut Richard E. Palmer dibagi
menjadi enam, yakni:[2]
1.
Teori
penafsiran Kitab Suci (theory of biblical exegesis)
2.
Sebagai
metodologi filologi umum (general philological methodology).
3.
Sebagai
ilmu tentang semua pemahaman bahasa (science of all linguistic understanding).
4.
Sebagai
landasan metodologis dari ilmu-ilmu kemanusiaan (methodological foundation of
Geisteswissenschaften)
5.
Sebagai
pemahaman eksistensial dan fenomenologi eksistensi (phenomenology of existence
dan of existential understanding)
6.
sebagai sistem penafsiran (system of interpretation).
Keenam definisi
tersebut bukan hanya merupakan urutan fase sejarah, melainkan pendekatan yang
sangat penting di dalam problem
penafsiran suatu teks. Keenam definisi tersebut, masing-masing, mewakili
berbagai dimensi yang sering disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi
membawa nuansa yang berbeda, namun dapat dipertanggungjawabkan, dari tindakan
manusia menafsirkan, terutama penafsiran teks.Tulisan ini mau memberikan
kerangka menyeluruh tentang keenam definisi tersebut, yang lebih banyak
berfungsi sebagai pengantar pada arti sesungguhnya dari hermeneutika.
B. Tokoh-tokoh Pengembang Hermeneutika
1.
Friederich Sehleiermacher
2.
Wtlhelm Dilthey
3.
Gadamer
4.
Husser
5.
Heideger
6.
Ricoeur[3]
C. Pendapat dari beberapa tokoh tentang
hermeneutika
Dalam pandangan Friederich Sehleiermacher menyatakan bahwa pemahaman hermeneutika mempunyai dua dimensi,yakni:
1. Penafsiran gramatikal, yang berkaitan
dengan aspek linguistik yang membentuk batasan-batasan di mana sebuah kegiatan berpikir
diatur. Dalam penafsiran ini, pendekatan yang digunakan dengan menggunakan
metode komparatif yang bermula dari yang umum ke yang khusus. Penafsiran
disebut juga penafsiran obyektif serta dapat juga dikatakan penafsiran negatif.
Hal ini disebabkan hanya menunjukkan batas-batas pemahamannya saja.
2. Penafsiran psikologis, yang berusaha
menciptakan kembali tindak kreatif yang menghasilkan teks dan kegiatan sosial.[4]
Penafsiran psikologi melibatkan penempatan
seseorang dalam pikiran penulis atau actor social supaya dapat mengetahui apa
yang diketahui oleh seorang penulis atau yang dipersiapkan dalam kegiatan
social. Hal ini merupakan proses yang memerlukan banyak tenaga untuk menyusun
konteks kehidupan tempat suatu kegiatan terjadi dan mendapatkan makna. Dalam
penafsiran ini, pendekatan yang digunakan dengan metode komparasi dan semacam
ramalan. Dalam metode ini pelaku hermeneutika mentransformasikan dirinya dalam
diri penulis untuk menggali proses mentalnya. Penafsiran ini disebut juga
penafsiran teknis. Melalui penafsiran inilah tugas seorang hermeneutic
terpenuhi. Selain disebut sebagai penafsiran teknis, penafsiran ini juga
disebut penafsiran positif karena berusaha memahami tindak berpikir yang
melahirkan wacana. [5]
Dalam pandangan Dilthey , yang dikenal
sebagai filosof terpenting paruh kedua abad 19, hermeneutika memang bermula
dari analisis psikologis akan tetapi akhirnya harus dikembangkan ke konteks
social yang lebih luas. Dia juga berpendapat bahwa sebuah fenomena harus
ditempatkan pada situasi keseluruhan yang lebih luas tempat fenomena tersebut
mendapatkan maknanya, bagian-bagian memperoleh pemaknaan dari keseluruhan dan keseluruhan mendapatkan
pemaknaan dari bagian-bagian. Jadi yang menjadi penekanannya bergeser dari
pemahaman empatik atau rekonstruksi proses mental orang lain kea rah penafsiran
hermeneutik tentang produk budaya struktur konseptual.[6]
Sedangkan Husserl mengembangkan
hermeneutikanya didasarkan pada prinsip fenomenologi. Baginya ada 3 pendapat
mengenai konsep hermeneutika.,yakni:
1. Hasil sebuah penafsiran haruslah bebas dari
relativitas historis dan perubahan
social.
2. Kesadaran harus bebas dari dugaan supaya
diperoleh kebenaran mandiri.
3. Data yang bersifat apa adanya harus dibuang
Menurut pandangan Heidegger yang merupakan
murid Husserl, pemahaman adalah cara berada (mode of being) dan harus dapat
dipahami oleh orang biasa, hal itu adalah dasar bagi eksistensi manusia.
Baginya pemahaman dikaitkan dengan pemroses hubungan social dan penafsiran adalah
pemahaman secara sederhana yang tampak jelas dalam bahasa.[7]
Menurut Gadamer dalam hermeneutika tertarik
pada proses pemahaman. Pemahaman harus diletakkan dalam tradisi historis ,
suatu waktu dan tempat teks ditulis . Hermeneutik berlengsung di luar analisis
teks menuju ke konteks historisnya. Ada 3 pendapat menurutntya tentang
hermeneutika yakni:
1. Kegiatan hermeneutic diterapkan pada
sesuatu di luar apa yang dikatakan menuju pada sesuatu yang secara alami ketika dikatakan makna sehari-hari dan situasi dimana
percakapan itu terjadi.
2. Hermeneutik dilakukan dengan cara memadukan
horizon pelaku hermeneutic dan horizon teks sasaran. Benturan dengan horizon lain akan memunculkan
kesadaran yang berupa asumsi dan dugaan tentang horizon suatu makna yang belum
disadari. Dalam hal ini hermeneutika
adalah penjembatan atau mediasi bukannya rekonstruksi.
3. Pembacaan sebagai bagian dari hermeneutik
melibatkan aplikasi sehingga pembaca menjadi bagian dari yang ia mengerti.
Karena itu ketermilikan, partisipasi, bahasa sebagai medium berpengalaman
tentang dunia adalah landasan yang nyata bagi pengalaman hermeneutik.
Dalam perkembangan selanjutnya, Ricoeur
mengembangkan hermeneutikanya dengan
berbasis pada teks. Dia memanfaatkan dikotomi langue dan parole serta
mencarikan posisi eksplanasi dan pemahaman dalam sebuah penafsiran. Dan
kaidah-kaidah teks menurutnya ada 3 kategori,yakni:[8]
1. Teks selalu mengalami pelepasan konteksnya
dari kondisi sosio-historis pengungkapannya semula, karena itu teks selalu
membuka diri sendiri terhadap seri pembacaan yang tidak terbatas.
2. Teks merupakan suatu langue dan parole.
Begitu juga dalam proses pemahamannya. Ketika dianggap sebagai langue
maka teks harus diperlakukan sesuai dengan aturan linguistic sekuat mungkin.
Dan ketika dianggap sebagai parole maka teks adalah perbincangan dan
pada saat inilah teks ditafsirkan.
Penafsiran menurut pandangannya merupakan dialektika antara dua kegiatan
tersebut.
3. Penafsiran merupakan proses dinamis yang
mekanisme pengujian kebenaran hasilnya harus diserahkan pada proses negosiasi
dan debat.
D. Pengertian Teori Krisis
Secara
etimologis kritis dapat berarti pertama keadaan kritis, gawat atau
genting; kedua, berarti tidak lekas percaya dan ketiga, bersifat
selalu menemukan kesalahan atau kekeliruan dapat pula diartikan tajam dalam
penganalisisan (Tim KUBI, 1989:466). Ber-kaitan dengan tulisan ini maka kritis
lebih diarahkan pada pengertian yang kedua. Dalam bahasa Inggris kritis
diambilkan dari critical sebagai contoh critical sociology, yang dimaksudkan
adalah teori kritis.
Mengapa teori
kritis, sebab teori kritis dipandang sesuai dengan visi dan persepsi penulis
untuk membedah dan jika mungkin meng-ubah secara teoretik reflektif dan praksis
atas realitas masyarakat sekarang ini.Teori Kritis disebut juga sosiologi
kritis atau teori kritik masyarakat (Connerton, 1976; Sindhunata, 1983;
Hardiman, 1990; Suseno, 1992;).
E. Sejarah Singkat Teori Krisis
Teori kritis baru terkenal tahun 1960-an sejak terjadi diskusi yang
seru antara Karl Popper dan Theodore W. Adorno di bawah moderator
Ralf Dahrendorf (Sindhunata, 1983:XIV), ternyata per-debatan itu
diteruskan oleh Hans Albert dipihak Popper dan Jurgen Habermas
di pihak Adorno. Namun teori kritis benar-benar mencapai puncak di bawah
Jurgen Habermas dan Max Horkheimer[9].
Teori kritis
harus dipahami dalam konteks jamannya, tetapi manakala jaman itu memiliki
karakter yang sama, maka tidak mus-tahil bahwa teori itu pun mempunyai
relevansi dengan realitas jaman. Kontekstual dengan logika situasi, logika
jaman atau zeit geschit (Popper,1985). Sebagai contoh teori kritis dengan
inspirasi dari ajaran Marx, memandang masyarakat kapitalis sebagai masyarakat
yang menindas. Demikian pula manakala kehidupan di Indonesia dewasa ini
menunjukkan karakter yang sama, maka teori kritis memiliki relevansinya.[10]
Teori kritis dapat dianggap sebagai teori perjuangan, namun teori
kritis juga tidak mengehendaki cara-cara yang destruktif, brutal dan
anarkhis. Teori kritis lebih menonjolkan kekuatan moral. Teori kritis
menghendaki suatu revolusi, namun revolusi secara damai. Sebagaimana dikatakan
oleh Lenin bahwa tidak akan ada tindakan yang revolusioner tanpa ada teori yang
revolusioner. Tetapi sebagai-mana diketahui bahwa banyak murid sekolah Franfurt
kecewa, karena baik teori kritis maupun gurunya tidak mengehendaki revolusi
tanpa damai.
Teori kritis berkembang secara pesat bersama dan berada dalam
Frankfurt School. Pelopor sekolah Frankfurt Felix J. Weil seorang sarjana
politik. Mendapat warisan dari ayahnya Herman Weil, ia menghimpun cendekiawan
untuk menyegarkan kembali ajaran Marx sesuai kebutuhan saat itu. Cendekiawan
yang tergabung antara lain Friederickh Pollock ahli ekonomi, Theodore W.
Adorno, musikus, ahli sastra dan filsuf; Herbert Marcuse, murid Heidegger;
Erich Fromm ahli psikoanalisa Freud; Walter Benyamin kritikus sastra, Max
Horkheimer, Jurgen Habermas dan sebagainya.
Sejak awal secara eksplisit sekolah Frankfurt menempatkan ajaran
Marxisme sebagai titik tolak pemikirannya (Connerton, 1976; Suseno, 1977;
Sindhunata, 1983; Hardiman 1990.) Walaupun sebagai-mana diketahui melalui
sekolah ini pula ajaran-ajaran Marx diperbarui dan bahkan ditinggalkan.
Disamping itu sekolah Frankfurt juga men-dasarkan diri pada perspektif
idealisme Jerman yang dirintis Immanuel Kant (kritisisme), memuncak pada ajaran
Hegel melalui dialektikanya serta ketika Horkheimer sebagai pimpinan Frankfurt
School teori kritis mendapatkan penyegaran melalui ajaran Freud dan Habermas
sendiri seperti Althuser yang memperbaharui teori Marx dengan konsentrasi pada
ideologi (Suseno, 1977).
Menurut Horkheimer dan kawan-kawannya, Kant dapat disebut sebagai
filosuf kritis yang pertama. Kant sendiri menamakan filsafat-nya sebagai
kritis, dalam arti bahwa akal budi harus menilai kemampuan dan keterbatasannya,
dan hanya lewat kemampuan dan keterbatasannya itu akal budi mengetahui sesuatu.
Sekolah Frankfurt menghargai Kant, karena mereka menganggap Kant telah menemukan
otonomi subjek dalam membentuk pengetahuannya. Di sinilah terletak pengertian
kritis yang pertama pengetahuan kita tidak ditentukan oleh objek, tapi subjek
yang menghasilkan pengetahuan itu. Bahkan objek dapat dikonstruksi dan bahkan
verifikasi hanya melalui subjek. Baginya tanpa kerja subjek tidak berarti
apa-apa.[11]
Hegel beranggapan bahwa Kant telah berhasil menemukan otonomi akal
budi manusia. Oleh karena itu akal
budi tidak perlu lagi kritis terhadap dirinya, ia harus menjadi affirmatif.
Sebab menurut Hegel akal budi telah mencapai kesempurnaan dalam roh.
Bagai-manakah proses akal budi sampai pada roh? Proses tersebut tercakup dalam
pengertian dialektika sebagai ajaran Hegel yang paling terkenal. Persis
di sinilah terletak pengertian kritis yang kedua dari Sekolah Frankfurt: mereka
beranggapan bahwa berpikir secara kritis adalah berpikir dialektis. Proses
berpikir dialektis bukan sekedar dirumuskan thesis-antithesis dan sinthesis
sebagaimana pada umum-nya dirumuskan. Melainkan dalam dialektika disamping
ketiga tesis itu juga diperlukan adanya saling negasi, kontradiksi dan mediasi.
Berpikir kritis memerlukan: pertama, berpikir kritis adalah
berpikir secara dialektis, berpikir dialektis adalah berpikir secara totalitas.
Totalitas bukan berarti semata-mata keseluruhan di mana unsur-unsurnya yang
bertentangan berdiri sejajar. Tetapi totalitas itu berarti keseluruhan yang
mempunyai unsur-unsur yang saling be-rnegasi (mengingkari dan
diingkari), saling berkontradiksi (melawan dan dilawan), dan saling bermediasi
(memperantarai dan diperan-tarai). Pemikiran dialektis menekankan bahwa dalam
kehidupan yang nyata pasti unsur-unsurnya saling berkontradiksi, bernegasi dan
bermediasi. Pemikiran dialektis menolak kesadaran yang abstrak, misalnya
individu dan masyarakat. Menurut pemikiran dialektis, individu selalu
saling berkontradiksi, bermediasi dan bernegasi terhadap masyarakat (Sindhunata,
1983).
Pengertian proses dialektis tidak mengarah pada sintesis dalam arti
perpaduan, melainkan mengarah pada tujuan baru sama sekali, yakni rekonsiliasi,
yang didalamnya tercakup pengertian pembaharu-an, penguatan dan perdamaian.
Dalam seluruh proses berpikir dialek-tis sebenarnya merupakan realitas yang
sedang bekerja atau working reality. Berpikir kritis adalah berpikir yang
dialektis, berpikir dialektis adalah berpikir dalam perspektif empiris
historis. [12]Berpikir
adalah berpikir dialektis, berpikir dialektis adalah berpikir dalam kerangka
kesatuan teori dan praksis (Habermas dalam Connerton, 1976:330. pengertian
teori dan praksis sering menjadi persoalan). Hal ini jelas berbeda dengan orang
yang salah paham bahwa persoalan teori dan praksis mesti dipikirkan sebagai
persoalan bagaimana agar suatu teori itu dapat diaplikasikan pada kehidupan
praktis, sebab pengertian itu seakan-akan menganggap bahwa teori dan praksis
sebagai dua bidang yang berbeda, pada hal pengetian teori dan praksis hanyalah
dua dimensi dari manusia yang satu dan sama, sehingga satu sama lain memang
saling bisa dipisahkan dan saling mengecualikan. Pemikiran dialektis tidak
mengandaikan adanya kesenjangan antara teori dan praksis yang harus dijembatani
melainkan bagaimana suatu teori dapat membuahkan praksis (Sindhunata,1983).
Konsepsi teori
kritis di samping bersumber pada Kant, Hegel juga pada Marx yang utamanya
berangkat dari kritik ekonomi politik Marx. Menurut penganut Frankfurt school kritik
ekonomi politik Marx harus diubah menjadi kritik sosiologi politik.
Sebagaimana pendirian Marx bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keadaan
mereka melainkan sebaliknya keadaan sosiallah yang menentukan kesadaran mereka.
Kritik Ideologi
melalui Freud. Erich Fromm lah yang memasukkan psikoanalis Freud ke dalam
ajaran teori kritis. Menurut Fromm kritik ideologi Marx membutuhkan
psikoanalisa, sebab psikoanalisa dapat mempertajam kritik ideologi Marx.
Menurut Marx ideologi itu adalah kesadaran palsu, maksudnya ideologi tidak
menggambarkan situasi nyata manusia secara apa adanya. Ideologi menggambarkan
keadaan secara terpuntir atau terbalik.
Teori kritis
memang diilhami filsafat kritis, sedangkan filsafat kritis mendapatkan
aspirasinya dari kritik ideologi (Hardiman, 1990:10) yang dikembangkan
Marx sewaktu masih muda, dalam tahap pemikirannya yang sering disebut hegelian
muda. Selanjutnya perlu juga diketahui bahwa kritis di samping sebagai teori
juga sebagai pendekatan. kritis sebagai pendekatan dalam arti bahwa sebuah
teori hanyalah benar sebagai kritik terhadap belenggu-belenggu ideologis
teori-teori terdahulu, jadi sebagai usaha teoretis yang sekaligus praksis
emansipatif.
Tujuan teorikritis adalah menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong
kebebasan, keadilan dan persamaan. Teori ini menggunakan metode reflektif
dengan cara mengkritik secara terus menerus terhadap tatanan atau institusi
sosial, politik atau ekonomi yang ada, yang cenderung tidak kondusif bagi
pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan[13]
F. Tokoh Penggagas atau Pengembang Teori
Krisis
1. T.W.Adorno
2. Max Hork-heimer
3. Hebert Marcuse
4. Friederich Pollock
G. Ilmu
Pengetahuan dan Kepentingan
Teori
kritis mempunyai pandangan yang khas sebagai upaya untuk menyerang pandangan
yang telah ada. Pandangan lama menga-takan bahwa Ilmu pengetahuan harus
dibangun dengan dasar objek-tivitas, bebas nilai (value free), netral
sebagaimana doktrin positivis-me.
Di
balik selubung objektivitas itu ilmu-ilmu tersembunyi kepentingan-kepentingan
kekuasaan. Pengetahuan kita tidak ditentu-kan oleh objek, tapi subjek yang
menghasilkan pengetahuan itu (Sindhunata, 1983:31). Di samping itu perlu
disadari pula bahwa di samping pengetahuan yang telah diformulasikan, masih ada
juga Segi Ilmu Pengetahuan yang tak terungkap (Polanyi,1996).
Mengenai
bebas nilai , teori kritis memandang bahwa ilmu pengetahuan dapat berkembang
atau tumbuh subur bersama dengan kepentingan fundamental yang ada di dalamnya
(Suseno, 1992:183). Seperti halnya pendapat Helnest dalam (Kleden, 1987:21)
bahwa … sejauh menyangkut dasar dan dampak sebuah teori ilmu sosial, maka tak
ada satu disiplin ilmu-ilmu sosial pun yang dapat bebas nilai (value free),
bebas kepentingan (interest-free), dan bebas kekuasaan (power-free).
Habermas telah melakukan apa yang dapat disebut kritik ideologi dan
kritik ilmu pengetahuan melalui kritik pengetahuan. Bagi Habermas antara
pengetahuan, ilmu pengetahuan dan ideologi merupakan tiga hal yang saling
bertautan dan ketiganya berkaitan pada praksis kehidupan sosial manusia.
Menurut
Habermas, segala sesuatu tindakan manusia didasar-kan pada tiga kepentingan
dasar. Pertama, kepentingan teknis, yaitu untuk menguasai alam. Kedua,
kepentingan praktis, untuk berkomuni-kasi. Ketiga, kepentingan
emansipatoris untuk menentang segala paksaan (Suseno, 1977:123). Di dalam
kehidupan masyarakat modern bidang kehidupan manusia seolah-olah demi
kepentingan teknis saja. Oleh karena itu untuk mendobraknya dapat dilaksanakan
dengan refleksi. Melalui refleksi ini sejarah pengalaman penderitaan manusia
dapat disadari, utamanya kesadaran emansipatoris.[14]
[1] Palmer, R.E. 1969. Hermeneutiks: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Evanston, III:Northwestern
Univ. Press. h. 23.
[3] Betanzos, R.J. 1988,’Introduction’ in Wilhelm, Introduction to Human
Sciences. Pp.9-63.Detroit, Mich: Wayne State Univ.Press.h. 28.
[6] Outwaite, W. 1975. Understanding
Social Life: The Method called Verstehen. London: Allen & Unwin, h.26.
[8] Ricouer, 1981-b 1981 b. ‘appropriation’. In
J.B.Thomson (ed.), Paul Ricoeur, Hermeneutiks and the Human Sciences,
pp. 182-193. Cambridge: Cambridge Univ. Press. H. 192-193.
[10] Outwaite, W. op. cit.,
h.32.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar