Rabu, 17 April 2013

Sosiolinguistik (علم اللغة الإجتماعى)



2.1 Pengertian Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan ilmu antar disiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat. Maka, untuk memahami apa sosiolinguistik itu, perlu terlebih dahulu dibicarakan apa yang dimaksud sosiologi dan linguistik itu.

Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, dan mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat  itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah sosial dalam satu masyarakat, akan diketahui cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, bagaimana mereka bersosialisasi, dan menempatkan diri dalam tempatnya masing-masing di dalam masyarakat. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian secara mudah dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat.[1]
Istilah sosiolinguistik jelas terdiri dari dua unsur; sosio- dan linguistik. Kita mengetahui arti linguistik, yaitu ilmu yang mempelajari atau membicarakan bahasa, khususnya unsur-unsur bahasa (fonem, morfem, kata, kalimat) dan hubungan antara unsur-unsur itu (struktur). Unsur sosio- adalah seakar dengan sosial, yaitu yang berhubungan dengan masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, dan fungsi-fungsi kemasyarakatan. Jadi, sosiolinguistik adalah studi pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat.[2]
Sosiolinguistik mengkaji masalah yang dihadapi dalam masyarakat terutama pada pemakaian bahasa, serta perilaku masyarakat dalam berbahasa. Ketidaksesuaian cara berbahasa, gejala-gejala berbahasa serta sikap masyarakat terhadap kebahasaan dapat dianalisis secara linguistik dalam lingkup sosiolinguistik tanpa melepaskan dari ilmu sosial yang terkait.
Sosiolinguistik merupakan kajian bahasa dalam pemakaian (in operations). Tujuannya untuk menunjukkan kesepakatan-kesepakatan atau kaidah-kaidah penggunaan bahasa  (yang disepakati oleh masyarakat), dikaitkan dengan aspek-aspek kebudayaan dalam masyarakat.
2.2 Bahasa dan Tingkatan Sosial Masyarakat
Pertama pengetahuan sosiolinguistik dapat kita manfaatkan dalam berkomunikasi atau berinteraksi. Sosiolinguistik akan memberikan pedoman kepada kita dalam berkomunikasi dengan menunjukkan bahasa, ragam bahasa atau gaya bahasa apa yang harus kita gunakan jika kita berbicara dengan orang tertentu.[3]
Orang ke
Tunggal
Jamak
I
Yang berbicara

aku, saya

kami, kita
II
Yang diajak berbicara

engkau, kamu, anda

kalian, kamu sekalian
III
Yang dibicarakan

ia, dia, nya

mereka

Bagan tersebut cukup jelas. Tetapi kaidah sosial bagaimana menggunakannya tidak ada, sehingga orang yang baru mempelajari bahasa Indonesia dan tidak mengenal kaidah sosial dalam menggunakan kata ganti itu akan mendapatkan kesulitan besar. Oleh karena itu, bantuan sosiolinguistik dalam menjelaskan penggunaan kata ganti tersebut sangat penting.
Sudah dibicarakan di atas bahwa pokok pembicaraan sosial linguistik adalah hubungan antara bahasa dengan penggunaannya dalam masyarakat. Hubungan yang terdapat antara bahasa dan masyarakat adalah hubungan antara bentuk-bentuk bahasa tertentu, yang disebut variasi, ragam atau dialek dengan penggunaanya untuk fungsi-fungsi tertentu di dalam masyarakat. Misalnya, untuk kegiatan pendidikan kita menggunakan ragam baku, untuk kegiatan sehari-hari di rumah kita menggunakan ragam tak baku, untuk kegiatan berbisnis kita menggunakan ragam usaha, dan untuk kegiatan mencipta karya seni (puisi atau novel) kita menggunakan ragam sastra.
Kelas sosial atau tingkatan sosial (social class) mengacu kepada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta dan sebagainya.
Kasta biasanya memang dianggap sejenis kelas sosial. Tetapi ada satu hal yang membedakan kasta dari kelas sosial dengan yang lain, pada kasta orang tidak boleh seenaknya bebas memasuki golongan. Orang yang dilahirkan dari keluarga kasta brahmana pasti dan harus menjadi anggota kasta itu. Orang yang lahir dari keluarga kastra sudra tidak boleh masuk menjadi anggota kasta brahmana.[4]
Adanya tingkatan sosial di dalam masyarakat dapat dilihat dari dua segi: pertama, dari segi kebangsawanan, kalau ada; dan kedua, dari segi kedudukan sosial yang ditandai dengan tingkatan pendidikan dan perekonomian yang dimiliki.[5]
Untuk melihat adakah hubungan antara kebangsawanan dan bahasa, kita ambil contoh masyarakat tutur bahasa Jawa. Mengenai tingkat kebangsawanan ini, Kuntjaraningrat (1967:245) membagi masyarakat Jawa atas empat tingkat, yaitu (1) wong cilik, (2) wong sudagar, (3) priyayi, dan (4) ndara. Berdasarkan tingkat-tingkat itu, maka dalam masyarakat Jawa terdapat berbagai variasi bahasa yang digunakan sesuai dengan tingkat sosialnya.
Sehubungan dengan undak usuk, bahasa Jawa terbagi dua; krama atau tingnkat tinggi dan ngoko untuk tingkat rendah. Uhlenbeck (1970), seorang pakar bahasa Jawa, membagi tingkat variasi bahasa jawa menjadi tiga, yaitu krama, madya, dan ngoko. Lalu, masing-masing diperinci lagi menjadi muda krama, kramantara, dan wreda krama madyangoko, madyantara, dan madya krama, ngoko sopan dan ngoko andhap.
A
B
Anda mau pergi kemana?
Mau pulang
Kedudukan
Variasi
Kedudukan
Variasi
-










+





-
Krama




Ngoko





Krama





Ngoko
1.      Sampean ajeng teng pundi?
2.      Panjenengan badhe tindak teng pundi?
1.      Kowe arep menyang endi?
2.      Slirane/panjen-engan arep tindak/menya-ng endi?
1.      Sampean ajeng teng pundi?
2.      Panjenengan badhe tindak (dhateng) pundi?
1.      Kowe arep menyang endi?
2.      Slirane/panjen-engan arep tindak menyang endi?
+










+





-
Ngoko




Krama





Krama





Ngoko
1.      Arep mulih

2.      Arep mulih


1.      Ajeng wangsul

2.      Badhe wangsul



1.      Ajeng wangsul

2.      Badhe wangsul



1.      Arep mulih

2.      Arep mulih









Dalam masyarakat kota besar yang heterogen dan multietnis tingkat status sosial berdasarkan derajat kebangsawanan mungkin sudah tidak ada, atau walaupun ada sudah tidak dominan lagi. Sebagai gantinya adalah lapisan tingkatan dilihat dari status sosial ekonomi. Begitulah, dalam masyarakat ibi kota jakarta ada dikenal istilah golongan atas, golongan menengah, dan golongan bawah. Siapa saja yang masuk golongan atas, golongan menengah, golongan bawah adalah relatif, agak sukar ditentukan; tetapi kalau dilihat sosial ekonominya, maka anggota ketiga golongan itu bisa ditentukan. Maka masalah kita sekarang; adakah hubungan antara kelas-kelas golongan sosial ekonomi ini dengan penggunaan bahasa. Di Indonesia penelitian mengenai hubungan antara sosial ekonomi dan penggunaan bahasa kiranya belum ada, tetapi di Eropa dan Amerika telah banyak dilakukan orang.
2.3 Pengertian Kebudayaan
Ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakan bagian dari kebudaaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan.[6] Sebab “perorangan” adalah anggota “masyarakat” yang hidup dalam masyarakat itu sesuai dengan pola-pola “kebudayaannya” yang diwariskan dan dikembangkan melalui pendidikan.[7] Dengan demikian dapat kita definisikan kebudayaan sebagai system aturan-aturan komunikasi dan interaksi yang memungkinkan suatu masyarakat terjadi, terpelihara, dan dilestarikan.
Terdapat berbagai definisi kebudayaan; bergantung pada sudut pandangan pembuat definisi itu. Kroeber dan Kluckhohn (1952) mengumpulkan berpuluh-puluh definisi yang dibuat ahli-ahli antropologi dan membaginya atas 6 golongan, yaitu: (1) yang deskriptif, yang menekankan unsure-unsur kebudayaan; (2) yang historis, yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan; (3) yang normatif, yang menekankan hakekat kebudayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku; (4) yang psikologis, yang menekankan kegunaan kebudayaan dalam penyesuaian diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan, dan belajar hidup; (5) yang struktural, yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola dan teratur; (6) yang genetik, yang menekankan terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia.
Dapat juga kita buat suatu pembagian yang lebih sederhana, yakni dengan memandang kebudayaan sebagai: (1) pengatur dan pengikat masyarakat; (2) hal-hal yang diperoleh manusia melalui belajar/pendidikan (nurture); (3) pola kebiasaan dan prilaku manusia; dan (4) sistem komunikasi yang dipakai masyarakat untuk memperoleh kerjasama, kesatuan, dan kelangusngan hidup masyarakat manusia.[8]
Dengan demikian kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial, oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan dan tata kelakuan, tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Dan kebudayaan melingkupi semua aspek dan segi kehidupan manusia, baik itu berupa produk material atau non material.
Dalam konteks masyarakat indonesia yang majemuk, yang terdiri dari berbagai budaya, menjadikan perbedaan antar-kebudayaan, justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak zaman nenek moyang, ke-bhinekaan budaya yang dapat hisup berdamingan secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah budaya nasional.[9]
2.4  Hubungan antara Bahasa dan Kebudayaan
Ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan.
Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat di pengaruhi kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara pikir manusia atau masyarakat penuturnya.
Menurut Koentjaraningrat bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada dibawah lingkup kebudayan. Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi.
Masinambouw juga menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsung interaksi itu.[10]


DAFTAR PUSTAKA

Sumarsono, Sosiolinguistik, Yogyakarta: SABDA (Lembaga Studi Agama, Budaya dan Perdamaian), 2009
Chaer Abdul dan Agustina Leonie, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1995
P.W.J. Nababan, Sosiolinguistik Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993




[1] Chaer Abdul dan Agustin Leonie, Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1995), 2.
[2] P.W.J. Nabatan, Sosiolinguistik Suatu Pengantar (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), 2.
[3] Ibid Chaer Abdul, 9.
[4] Sumarsono, Sosiolinguistik (Yogyakarta: SABDA, 2009), 43-44.
[5] Ibid, 50-51
[6] Ibid, 213
[7] Ibid P.W.J. Nababan, 38
[8] Ibid, 49
[9] http://anaksastra.blogspot.com/2009/05/hubungan-bahasa-dengan-budaya.html
[10] Ibid Abdul Chaer, 217-218

Tidak ada komentar:

Posting Komentar