2.1 Pengertian Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan ilmu
antar disiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang
mempunyai kaitan sangat erat. Maka, untuk memahami apa sosiolinguistik itu,
perlu terlebih dahulu dibicarakan apa yang dimaksud sosiologi dan linguistik itu.
Sosiologi
adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat,
dan mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat.
Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada.
Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah sosial dalam satu masyarakat,
akan diketahui cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya,
bagaimana mereka bersosialisasi, dan menempatkan diri dalam tempatnya
masing-masing di dalam masyarakat. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang
mempelajari bahasa, atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek
kajiannya. Dengan demikian secara mudah dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik
adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan
penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat.[1]
Istilah sosiolinguistik
jelas terdiri dari dua unsur; sosio- dan linguistik.
Kita mengetahui arti linguistik, yaitu ilmu yang mempelajari atau
membicarakan bahasa, khususnya unsur-unsur bahasa (fonem, morfem, kata,
kalimat) dan hubungan antara unsur-unsur itu (struktur). Unsur sosio- adalah
seakar dengan sosial, yaitu yang berhubungan dengan masyarakat,
kelompok-kelompok masyarakat, dan fungsi-fungsi kemasyarakatan. Jadi,
sosiolinguistik adalah studi pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur
bahasa itu sebagai anggota masyarakat.[2]
Sosiolinguistik
mengkaji masalah yang dihadapi dalam masyarakat terutama pada pemakaian bahasa,
serta perilaku masyarakat dalam berbahasa. Ketidaksesuaian cara berbahasa,
gejala-gejala berbahasa serta sikap masyarakat terhadap kebahasaan dapat
dianalisis secara linguistik dalam lingkup sosiolinguistik tanpa melepaskan
dari ilmu sosial yang terkait.
Sosiolinguistik
merupakan kajian bahasa dalam pemakaian (in operations). Tujuannya untuk
menunjukkan kesepakatan-kesepakatan atau kaidah-kaidah penggunaan bahasa (yang disepakati oleh masyarakat), dikaitkan
dengan aspek-aspek kebudayaan dalam masyarakat.
2.2 Bahasa
dan Tingkatan Sosial Masyarakat
Pertama
pengetahuan sosiolinguistik dapat kita manfaatkan dalam berkomunikasi atau
berinteraksi. Sosiolinguistik akan memberikan pedoman kepada kita dalam
berkomunikasi dengan menunjukkan bahasa, ragam bahasa atau gaya bahasa apa yang
harus kita gunakan jika kita berbicara dengan orang tertentu.[3]
Orang ke
|
Tunggal
|
Jamak
|
I
Yang berbicara
|
aku, saya
|
kami, kita
|
II
Yang diajak berbicara
|
engkau, kamu, anda
|
kalian, kamu sekalian
|
III
Yang dibicarakan
|
ia, dia, nya
|
mereka
|
Bagan
tersebut cukup jelas. Tetapi kaidah sosial bagaimana menggunakannya tidak ada,
sehingga orang yang baru mempelajari bahasa Indonesia dan tidak mengenal kaidah
sosial dalam menggunakan kata ganti itu akan mendapatkan kesulitan besar. Oleh
karena itu, bantuan sosiolinguistik dalam menjelaskan penggunaan kata ganti
tersebut sangat penting.
Sudah
dibicarakan di atas bahwa pokok pembicaraan sosial linguistik adalah hubungan
antara bahasa dengan penggunaannya dalam masyarakat. Hubungan yang terdapat
antara bahasa dan masyarakat adalah hubungan antara bentuk-bentuk bahasa
tertentu, yang disebut variasi, ragam atau dialek dengan penggunaanya untuk
fungsi-fungsi tertentu di dalam masyarakat. Misalnya, untuk kegiatan pendidikan
kita menggunakan ragam baku, untuk kegiatan sehari-hari di rumah kita
menggunakan ragam tak baku, untuk kegiatan berbisnis kita menggunakan ragam
usaha, dan untuk kegiatan mencipta karya seni (puisi atau novel) kita
menggunakan ragam sastra.
Kelas sosial atau
tingkatan sosial (social class) mengacu kepada golongan masyarakat yang
mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi,
pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta dan sebagainya.
Kasta
biasanya memang dianggap sejenis kelas sosial. Tetapi ada satu hal yang
membedakan kasta dari kelas sosial dengan yang lain, pada kasta orang tidak
boleh seenaknya bebas memasuki golongan. Orang yang dilahirkan dari keluarga
kasta brahmana pasti dan harus menjadi anggota kasta itu. Orang yang lahir dari
keluarga kastra sudra tidak boleh masuk menjadi anggota kasta brahmana.[4]
Adanya
tingkatan sosial di dalam masyarakat dapat dilihat dari dua segi: pertama, dari
segi kebangsawanan, kalau ada; dan kedua, dari segi kedudukan sosial yang
ditandai dengan tingkatan pendidikan dan perekonomian yang dimiliki.[5]
Untuk melihat
adakah hubungan antara kebangsawanan dan bahasa, kita ambil contoh masyarakat
tutur bahasa Jawa. Mengenai tingkat kebangsawanan ini, Kuntjaraningrat
(1967:245) membagi masyarakat Jawa atas empat tingkat, yaitu (1) wong cilik,
(2) wong sudagar, (3) priyayi, dan (4) ndara. Berdasarkan tingkat-tingkat itu,
maka dalam masyarakat Jawa terdapat berbagai variasi bahasa yang digunakan
sesuai dengan tingkat sosialnya.
Sehubungan dengan undak usuk,
bahasa Jawa terbagi dua; krama atau tingnkat tinggi dan ngoko
untuk tingkat rendah. Uhlenbeck (1970), seorang pakar bahasa Jawa, membagi
tingkat variasi bahasa jawa menjadi tiga, yaitu krama, madya, dan ngoko. Lalu,
masing-masing diperinci lagi menjadi muda krama, kramantara,
dan wreda krama madyangoko, madyantara, dan madya krama, ngoko
sopan dan ngoko andhap.
A
|
B
|
||||
Anda mau pergi kemana?
|
Mau pulang
|
||||
Kedudukan
|
Variasi
|
Kedudukan
|
Variasi
|
||
-
+
-
|
Krama
Ngoko
Krama
Ngoko
|
1.
Sampean
ajeng teng pundi?
2.
Panjenengan
badhe tindak teng pundi?
1.
Kowe arep
menyang endi?
2.
Slirane/panjen-engan
arep tindak/menya-ng endi?
1.
Sampean
ajeng teng pundi?
2.
Panjenengan
badhe tindak (dhateng) pundi?
1.
Kowe arep
menyang endi?
2.
Slirane/panjen-engan
arep tindak menyang endi?
|
+
+
-
|
Ngoko
Krama
Krama
Ngoko
|
1.
Arep mulih
2.
Arep mulih
1.
Ajeng
wangsul
2.
Badhe
wangsul
1.
Ajeng
wangsul
2.
Badhe wangsul
1.
Arep mulih
2.
Arep mulih
|
Dalam
masyarakat kota besar yang heterogen dan multietnis tingkat status sosial
berdasarkan derajat kebangsawanan mungkin sudah tidak ada, atau walaupun ada
sudah tidak dominan lagi. Sebagai gantinya adalah lapisan tingkatan dilihat
dari status sosial ekonomi. Begitulah, dalam masyarakat ibi kota jakarta ada
dikenal istilah golongan atas, golongan menengah, dan golongan bawah. Siapa
saja yang masuk golongan atas, golongan menengah, golongan bawah adalah
relatif, agak sukar ditentukan; tetapi kalau dilihat sosial ekonominya, maka
anggota ketiga golongan itu bisa ditentukan. Maka masalah kita sekarang; adakah
hubungan antara kelas-kelas golongan sosial ekonomi ini dengan penggunaan
bahasa. Di Indonesia penelitian mengenai hubungan antara sosial ekonomi dan
penggunaan bahasa kiranya belum ada, tetapi di Eropa dan Amerika telah banyak
dilakukan orang.
2.3 Pengertian Kebudayaan
Ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan
kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakan bagian dari kebudaaan,
tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal
yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat
dipisahkan.[6]
Sebab “perorangan” adalah anggota “masyarakat” yang hidup dalam masyarakat itu
sesuai dengan pola-pola “kebudayaannya” yang diwariskan dan dikembangkan
melalui pendidikan.[7]
Dengan demikian dapat kita definisikan kebudayaan sebagai system aturan-aturan
komunikasi dan interaksi yang memungkinkan suatu masyarakat terjadi, terpelihara, dan dilestarikan.
Terdapat berbagai definisi kebudayaan; bergantung pada
sudut pandangan pembuat definisi itu. Kroeber dan Kluckhohn (1952) mengumpulkan
berpuluh-puluh definisi yang dibuat ahli-ahli antropologi dan membaginya atas 6
golongan, yaitu: (1) yang deskriptif, yang menekankan unsure-unsur
kebudayaan; (2) yang historis, yang menekankan bahwa kebudayaan itu
diwarisi secara kemasyarakatan; (3) yang normatif, yang menekankan
hakekat kebudayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku; (4) yang psikologis,
yang menekankan kegunaan kebudayaan dalam penyesuaian diri kepada lingkungan,
pemecahan persoalan, dan belajar hidup; (5) yang struktural, yang
menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola dan teratur; (6)
yang genetik, yang menekankan terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya
manusia.
Dapat juga kita buat suatu pembagian
yang lebih sederhana, yakni dengan memandang kebudayaan sebagai: (1) pengatur
dan pengikat masyarakat; (2) hal-hal yang diperoleh manusia melalui
belajar/pendidikan (nurture); (3) pola kebiasaan dan prilaku
manusia; dan (4) sistem komunikasi yang dipakai masyarakat untuk
memperoleh kerjasama, kesatuan, dan kelangusngan hidup masyarakat manusia.[8]
Dengan demikian kebudayaan adalah segala sesuatu yang
dipelajari dan dialami bersama secara sosial, oleh para anggota
suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari
kebiasaan dan tata kelakuan, tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi.
Dan kebudayaan melingkupi semua aspek dan segi kehidupan manusia, baik itu
berupa produk material atau non material.
Dalam konteks masyarakat indonesia
yang majemuk, yang terdiri dari berbagai budaya, menjadikan perbedaan antar-kebudayaan,
justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi
sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama,
dan suku bangsa telah ada sejak zaman nenek moyang, ke-bhinekaan budaya yang
dapat hisup berdamingan secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam
khasanah budaya nasional.[9]
2.4 Hubungan antara Bahasa dan
Kebudayaan
Ada berbagai
teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu
merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa
dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang
sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan.
Ada yang
mengatakan bahwa bahasa sangat di pengaruhi kebudayaan, sehingga segala hal yang
ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang
mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara pikir manusia
atau masyarakat penuturnya.
Menurut
Koentjaraningrat bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara
bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa
berada dibawah lingkup kebudayan. Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa
bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang
sederajat, yang kedudukannya sama tinggi.
Masinambouw
juga menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat
pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi
manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi
sebagai sarana berlangsung interaksi itu.[10]
DAFTAR PUSTAKA
Sumarsono, Sosiolinguistik,
Yogyakarta: SABDA (Lembaga Studi Agama, Budaya dan Perdamaian), 2009
Chaer Abdul dan Agustina Leonie,
Sosiolinguistik Perkenalan Awal, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1995
P.W.J. Nababan, Sosiolinguistik
Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar