Sabtu, 27 April 2013

REVOLUSI SAIN DAN METODOLOGI PROGRAM RISET


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Thomas S. Kuhn: Revolusi Sains
1.      Biografi Thomas S. Kuhn
Thomas Samuel Kuhn (18 Juli 1922 – 17 Juni 1996) lahir di Cincinnati, Ohio, ia adalah seorang  Fisikawan Amerika dan filsuf yang menulis secara ekstensif tentang sejarah ilmu pengetahuan dan mengembangkan gagasan penting dalam sosiologi dan filsafat ilmu.
Thomas Kuhn memperoleh gelar BS di Universitas Harvard tahun 1943.. Kemudian ia menyelesaikan MS dan Ph.D. Jurusan Fisika pada tahun 1946 dan 1949. 
Sejak tahun 1948 sampai 1956 atas saran presiden Universitas James Conant, Dia kemudian mengajar kursus sejarah ilmu di Harvard, setelah meninggalkan Harvard, Kuhn mengajar di University of California, Berkeley, di Departemen Filsafat dan Departemen Sejarah, sebagai Profesor Sejarah Ilmu Pengetahuan. Di Berkeley, ia menulis dan menerbitkan karyanya yang terkenal, yaitu The Structure of Scientific Revolutions . Pada tahun 1964, ia bergabung Princeton University sebagai Profesor Taylor M. Pyne Filsafat dan Sejarah Ilmu Pengetahuan.[1]
Pada tahun 1979, ia bergabung dengan Massachusetts Institute of Technology (MIT) sebagai Laurance Rockefeller S. Profesor Filsafat.  Pada tahun 1994, Kuhn didiagnosa menderita kanker dari tabung bronkial, dan ia meninggal pada tahun 1996.[2]
2.      Pengertian Revolusi
Istilah revolusi bisa diartikan sebagai sebuah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama. Misalnya revolusi industri di Inggris yang memakan waktu puluhan tahun, namun dianggap cepat karena mampu mengubah sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat, seperti sistem kekeluargaan dan hubungan antara buruh dan majikan yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Revolusi menghendaki suatu upaya untuk merobohkan, menjebol, dan membangun dari sistem lama menuju sistem baru.[3]
Perubahan yang dihasilkan dari revolusi tidak hanya karena figur pemimpin, namun juga segenap elemen perjuangan beserta sarananya. Revolusi akan muncul disaat waktu mengharuskan ia hadir. Ketika seluruh komponen masyarakat melihat ada sistem yang berjalan namun tidak mampu menjadi alternatif untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat, di saat itulah revolusi dimulai.
Banyak tugu peringatan dan museum yang melukiskan keperkasaan dan kemasyhuran ravolusi di banyak negara yang telah menjalankan revolusi seperti yang terdapat di Vietnam, Rusia, Iran, China, Indonesia, dan banyak negara lainnya. Menjebol dan membangun merupakan bagian integral yang menjadi bukti fisik revolusi.[4] Tatanan lama yang busuk dan menyesatkan serta menyengsarakan rakyat, diubah menjadi tatanan yang besar peranannya untuk rakyat, seperti di Bolivia, setelah Hugo Chavez menjadi presiden ia segera merombak tatanan agraria, di mana tanah untuk rakyat sungguh diutamakan yang menyingkirkan dominasi para tuan tanah di banyak daerah di negeri itu. Jika dilihat dari bukti-bukti sejarah, sebenarnya istilah revolusi identik dengan perubahan  politik dan sosial masyarakat.
Dalam pengertian umum, revolusi mencakup jenis perubahan apapun yang memenuhi syarat-syarat tersebut.Misalnya revolusi industri yang mengubah wajah dunia menjadi modern.  Sejarah modern mencatat dan mengambil rujukan revolusi mula-mula pada revolusi Perancis, kemudian  revolusi Amerika. Namun, revolusi Amerika lebih merupakan sebuah pemberontakan untuk mendapatkan kemerdekaan nasional, ketimbang sebuah revolusi masyarakat yang bersifat domestik seperti pada revolusi Perancis.Begitu juga dengan revolusi pada kasus perang kemerdekaan Vietnam dan Indonesia. Maka konsep revolusi kemudian sering dipilah menjadi dua: revolusi sosial dan revolusi nasional.[5]
Perubahan yang dimunculkan dari revolusi tidak selamanya mencirikan sosial dan politik. Revolusi sains juga pernah menjadi pembahasan dan terealiasi dalam dialektika sejarah para ilmuan.[6]
3.      Proses Revolusi Sains
Revolusi sains dapat dianggap sebagai episode perkembangan non-komulatif yang di dalamnya paradigma yang lama diganti seluruhnya atau sebagian oleh paradigma baru yang bertentangan.[7] Paradigma baru ini berusaha menyempurnakan kekurangan pada paradigma lama. Pada proses revolusi sains ini, hampir seluruh kosa kata, istilah-istilah, konsep-konsep, idiom-idiom, cara penyelesaian persolan, cara berfikir, cara mendekati persoalan berubah dengan sendirinya. Tentu perangkat yang lama yang mungkin masih relefan untuk difungsikan tetap tidak dikesampingkan. Tetapi, jika cara pemecahan persoalan model lama memang sama sekali tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan yang datang kemudian, maka secara otomatis dibutuhkan seperangkat cara, rumusan dan wawasan yang baru untuk memecahkan persoalan-persoalan yang baru , yang timbul akibat kemajuan ilmu dan tekhnologi, yang berakibat pula pada perluasan wawasan dan pengalaman manusia itu sendiri.[8]
 Contoh ketika geosentris berubah kepada heliosentris, dari flogiston kepada oksigen, atau dari korpuskel kepada gelombang, ini merupakan sebuah tranfromasi konseptual dari paradigma yang telah ditetapkan sebelumnya. Kita malah akan memandang bahwa ini adalah sebuah contoh dari revolusioner dalam sains.[9]
Suatu titik baru tercapai ketika krisis hanya bisa dipecahkan secara revolusi di mana paradigma lama memberikan jalan bagi perumusan paradigma baru, demikianlah “sains revolusioner” mengambil alih. Namun apa yang sebelumnya pernah mengalami revolusioner itu juga dengan sendirinya akan mapan dan menjadi ortodoksi baru, dalam arti sains yang baru. Jadi menurut Kuhn, ilmu berkembang melalui siklus-siklus: sains diikuti oleh revolusi yang diikuti lagi oleh sains dan kemudian diikuti lagi oleh revolusi.[10]
Dalam pemahamannya juga tidak ditemukan kriteria sains secara konkrit yang digambarkannya. Mengingat kriteria masih menjadi bagian dari metodologi. Semua persoalan dalam sains terletak pada paradigma seorang ilmuan, maka yang terpenting menurutnya adalah mengkontruk paradigma ilmuan lebih penting dibandingkan metodologi.
B.     Imre Lakatos:  Metodologi Program Riset
1.      Latar Belakang Pemikiran Lakatos
Imre Lakatos lahir di Hungaria pada tanggal 9 Nopember 1922.Menyelesaikan studi di University of Debrecen pada bidang Matimatika, Fisika, dan Filsafat. Karirnya diawali dengan jabatan Mentri Pendidikan, namum pemikirannya dipandang menyebabkan kekacauan politik sehingga pada tahun 1950 dipenjara selama tiga tahun, kemudian beliau menerjemah buku-buku matematika kedalam bahas Hungaria. Karena pada tahun 1956 terjadi revolusi , Imre Lakatos lari ke Wina yang akhirnya sampai ke London. Di London inilah kemudian Imre Lakatos melanjutkan studi di Cambridge University dan memperoleh gelar doktor setelah mempertahankan desertasinya: Proofs and Refutations: The Logic Of Matematical Discovery (karya yang membahas pendekatan terhadap beberapa metodologi matematika sebagai logika penelitian).[11]
Pada masa-masa ini banyak gagasan tentang teori keilmuan. Sementara Khun tampil dengan gagasan revolusi sains yang ditandai dengan perubahan paradigma, Imre Lakatos memanfaatkan kondisi semacam ini dengan menawarkan “metodologi program riset ilmiah” sebagai evaluasi dan kritik atas kekurangan Popper dan terutama pada Kuhn, sekaligus mengembangkan pemikiran keduanya.[12]
Menurut Lakatos, persoalan pokok yang berhubungan dengan logika penemuan (Logic of Discovery) tidak bisa dibahas secara memuaskan kecuali dalam kerangka metodologi program riset. Dalam program riset ini terdapat aturan-aturan metodologis yang disebtu dengan “heuristik”, yaitu kerangka kerja konseptual sebagai konsekuensi dari bahasa. Heuristik itu adalah suatu keharusan untuk melakuakn penemuan-penemuan lewat penalaran induktif dan percobaan-percobaan sekaligus menghindarkan kesalahan dalam memecahkan masalah.[13] Ada dua aturan dalam riset yakni heuristik negatif  (menunjukkan cara-cara yang harus dihindarkan) dan heuristik positif (cara-cara yang harus dijalankan).[14]
Imre Lakatos mempertegas hal ini dengan perkataannya bahwa Khun tidak faham akan falsifikasi Popper. Menurutnya rangkaian teori-teori harus dinilai sebagai ilmiah atau tidak ilmiah dan bukannya teori tunggal.Rangkaian ini membutuhkan suatu program riset sebagai suatu komunitas.[15]
Inilah yang menjadi inti pokok program yang terlindungi dari ancaman falsifikasi. Suatu program riset berhasil apabila ia menghasilkan perubahan problem yang progresif. Jika itu merosot berarti ia membawa kegagalan.
2.      Elemen-elemen Penting dalam Program Riset
Menurut Imre Lakatos terdapat tiga elemen yang masing mempunyai fungsi yang berbeda dan harus diketahui dalam kaitanya dengan Program Riset, yaitu:[16]
a.       inti pokok(hard-core)
Dalam hal ini asumsi dasar yang menjadi ciri dari program riset ilmiah yang melandasinya, yang tidak dapat ditolak atau dimodifikasi.“Inti pokok” ini dilindungi dari ancaman falsifikasi.

b.      Lingkaran Pelindung (Protective-belt)
Terdiri dari hepotesa-hipotesa bantu(auxiliary hypothese) dalam kondisi-kondisi awal. Dalam mengartikulasi lingkaran pelindung, lingkaran pelindung ini harus menahan berbagai serangan, pengujian dan memperoleh penyesuaian, bahkan perubahan dan pengertian, demi mempertahankan hard-core.

c.       Serangkaian Teori (a series theory)
yaitu keterkaitan teori di mana teori yang berikutnya merupakan akibat dari klausul bantu yang ditambahkan dari teori sebelumnya. Untuk itu, bagi Lakatos, yang harus dinilai sebagai ilmiah atau tidak ilmiah bukanlah teori tunggal, melainkan rangkaian beberapa teori.Yang terpenting dari serangkaian perkembangan ilmu dan rangkaian teori ada ditandai oleh kontinuitas yang pasti.Kontinuitas ini berangkat dari program riset yang murni.


[1]Alexander Burung, Thomas Kuhn” , Diakses pada 17 Agustus 2004, dari http://plato.stanford.edu/entries/thomas-kuhn/.
[2]Ibid.
[3]Tanpa Nama, “Revolusi”, Diakses pada Tanggal 25 November 2011, Dari   http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi.
[4] Ibid.
[5]Ibid.
[6] Ibid.
[7]Thomas Kuhn, Peran Pradigma dalam Revolui Sains, terjemah dari The Structure of Scientific Revolutions, (Bandung : CV. Remaja Karya, 1993),  h. 91
[8]Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2008), h. 132.
[9]Thomas Kuhn, Op. Cit., h. 101.
[10]Muhammad Muslih, Op. Cit.,, h. 133.
[11] M Nur Huda, “Program Riset (Pemikiran Imre Lakatos)”, Diakses pada Tanggal, 09 Januari 2012 dari http://pendidikan-pemikiran.blogspot.com/2012/01/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html?showComment=1334273681404#c1011544283430837873
[12] Mohammad Muslih, Op. Cit., h. 69
[13]Ibid., h. 70.
[14]Kondrat Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya, 2011), h. 182
[15]Ibid., h.182
[16]Mohammad Muslih, Op. Cit., h. 71

Tidak ada komentar:

Posting Komentar