BAB II
PEMBAHASAN
A. Thomas S. Kuhn: Revolusi Sains
1. Biografi Thomas S. Kuhn
Thomas Samuel Kuhn (18 Juli 1922 – 17
Juni 1996) lahir di Cincinnati, Ohio, ia adalah seorang Fisikawan
Amerika dan filsuf yang menulis secara ekstensif tentang sejarah ilmu
pengetahuan dan mengembangkan gagasan penting dalam sosiologi dan filsafat ilmu.
Thomas Kuhn memperoleh gelar BS di Universitas
Harvard tahun 1943.. Kemudian ia menyelesaikan MS dan Ph.D. Jurusan
Fisika pada tahun 1946 dan 1949.
Sejak tahun 1948 sampai 1956 atas saran
presiden Universitas James Conant, Dia kemudian mengajar kursus sejarah
ilmu di Harvard, setelah meninggalkan Harvard, Kuhn mengajar di University
of California, Berkeley, di Departemen Filsafat dan Departemen Sejarah, sebagai
Profesor Sejarah Ilmu Pengetahuan. Di Berkeley, ia menulis dan menerbitkan
karyanya yang terkenal, yaitu The Structure of Scientific Revolutions . Pada tahun 1964, ia bergabung Princeton
University sebagai Profesor Taylor M. Pyne Filsafat dan Sejarah Ilmu
Pengetahuan.[1]
Pada tahun 1979, ia bergabung
dengan Massachusetts Institute of Technology (MIT)
sebagai Laurance Rockefeller S. Profesor Filsafat. Pada tahun
1994, Kuhn didiagnosa menderita kanker dari tabung bronkial, dan
ia meninggal pada tahun 1996.[2]
2. Pengertian Revolusi
Istilah revolusi bisa diartikan sebagai sebuah
perubahan
sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar
atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat
direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu. Ukuran kecepatan suatu
perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama. Misalnya
revolusi industri di Inggris yang memakan waktu puluhan tahun, namun
dianggap cepat karena mampu mengubah sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat, seperti
sistem kekeluargaan dan hubungan antara buruh dan majikan yang telah
berlangsung selama ratusan tahun. Revolusi menghendaki suatu upaya untuk
merobohkan, menjebol, dan membangun dari sistem lama menuju sistem baru.[3]
Perubahan yang dihasilkan dari revolusi tidak
hanya karena figur pemimpin, namun juga segenap elemen perjuangan beserta
sarananya. Revolusi akan muncul disaat waktu mengharuskan ia hadir. Ketika
seluruh komponen masyarakat melihat ada sistem yang berjalan namun tidak mampu
menjadi alternatif untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat, di saat itulah
revolusi dimulai.
Banyak tugu peringatan dan museum yang
melukiskan keperkasaan dan kemasyhuran ravolusi di banyak negara yang telah
menjalankan revolusi seperti yang terdapat di Vietnam, Rusia, Iran, China,
Indonesia, dan banyak negara lainnya. Menjebol dan membangun merupakan bagian
integral yang menjadi bukti fisik revolusi.[4] Tatanan lama yang busuk dan menyesatkan serta
menyengsarakan rakyat, diubah menjadi tatanan yang besar peranannya untuk
rakyat, seperti di Bolivia, setelah Hugo Chavez menjadi presiden ia segera
merombak tatanan agraria, di mana tanah untuk rakyat sungguh diutamakan yang
menyingkirkan dominasi para tuan tanah di banyak daerah di negeri itu. Jika
dilihat dari bukti-bukti sejarah, sebenarnya istilah revolusi identik dengan
perubahan politik dan sosial masyarakat.
Dalam pengertian umum, revolusi mencakup jenis
perubahan apapun yang memenuhi syarat-syarat tersebut.Misalnya revolusi industri yang mengubah wajah dunia menjadi
modern. Sejarah modern mencatat dan mengambil rujukan revolusi mula-mula
pada revolusi
Perancis, kemudian revolusi Amerika. Namun, revolusi Amerika lebih merupakan sebuah
pemberontakan untuk mendapatkan kemerdekaan nasional, ketimbang sebuah revolusi
masyarakat yang bersifat domestik seperti pada revolusi Perancis.Begitu juga
dengan revolusi pada kasus perang kemerdekaan Vietnam dan Indonesia. Maka
konsep revolusi kemudian sering dipilah menjadi dua: revolusi sosial dan revolusi nasional.[5]
Perubahan yang dimunculkan dari revolusi tidak
selamanya mencirikan sosial dan politik. Revolusi sains juga pernah menjadi
pembahasan dan terealiasi dalam dialektika sejarah para ilmuan.[6]
3.
Proses
Revolusi Sains
Revolusi sains dapat dianggap sebagai episode
perkembangan non-komulatif yang di dalamnya paradigma yang lama diganti
seluruhnya atau sebagian oleh paradigma baru yang bertentangan.[7] Paradigma baru ini berusaha menyempurnakan
kekurangan pada paradigma lama. Pada proses revolusi sains ini, hampir seluruh
kosa kata, istilah-istilah, konsep-konsep, idiom-idiom, cara penyelesaian
persolan, cara berfikir, cara mendekati persoalan berubah dengan sendirinya.
Tentu perangkat yang lama yang mungkin masih relefan untuk difungsikan tetap
tidak dikesampingkan. Tetapi, jika cara pemecahan persoalan model lama memang
sama sekali tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan yang datang
kemudian, maka secara otomatis dibutuhkan seperangkat cara, rumusan dan wawasan
yang baru untuk memecahkan persoalan-persoalan yang baru , yang timbul akibat
kemajuan ilmu dan tekhnologi, yang berakibat pula pada perluasan wawasan dan
pengalaman manusia itu sendiri.[8]
Contoh ketika
geosentris berubah kepada heliosentris, dari flogiston kepada oksigen, atau
dari korpuskel kepada gelombang, ini merupakan sebuah tranfromasi konseptual
dari paradigma yang telah ditetapkan sebelumnya. Kita malah akan memandang
bahwa ini adalah sebuah contoh dari revolusioner dalam sains.[9]
Suatu titik baru tercapai ketika krisis hanya
bisa dipecahkan secara revolusi di mana paradigma lama memberikan jalan bagi
perumusan paradigma baru, demikianlah “sains revolusioner” mengambil alih.
Namun apa yang sebelumnya pernah mengalami revolusioner itu juga dengan
sendirinya akan mapan dan menjadi ortodoksi baru, dalam arti sains yang baru.
Jadi menurut Kuhn, ilmu berkembang melalui siklus-siklus: sains diikuti oleh
revolusi yang diikuti lagi oleh sains dan kemudian diikuti lagi oleh revolusi.[10]
Dalam pemahamannya juga tidak ditemukan
kriteria sains secara konkrit yang digambarkannya. Mengingat kriteria masih
menjadi bagian dari metodologi. Semua persoalan dalam sains terletak pada
paradigma seorang ilmuan, maka yang terpenting menurutnya adalah mengkontruk
paradigma ilmuan lebih penting dibandingkan metodologi.
B. Imre Lakatos: Metodologi Program
Riset
1.
Latar
Belakang Pemikiran Lakatos
Imre Lakatos lahir di Hungaria pada tanggal 9
Nopember 1922.Menyelesaikan studi di University of Debrecen pada bidang Matimatika,
Fisika, dan Filsafat. Karirnya diawali dengan jabatan Mentri Pendidikan, namum
pemikirannya dipandang menyebabkan kekacauan politik sehingga pada tahun 1950
dipenjara selama tiga tahun, kemudian beliau menerjemah buku-buku matematika
kedalam bahas Hungaria. Karena pada tahun 1956 terjadi revolusi , Imre Lakatos
lari ke Wina yang akhirnya sampai ke London. Di London inilah kemudian Imre
Lakatos melanjutkan studi di Cambridge University dan memperoleh gelar doktor
setelah mempertahankan desertasinya: Proofs and Refutations: The Logic Of
Matematical Discovery (karya yang membahas pendekatan terhadap beberapa
metodologi matematika sebagai logika penelitian).[11]
Pada
masa-masa ini banyak gagasan tentang teori keilmuan. Sementara Khun tampil
dengan gagasan revolusi sains yang ditandai dengan perubahan paradigma, Imre
Lakatos memanfaatkan kondisi semacam ini dengan menawarkan “metodologi program riset ilmiah” sebagai evaluasi dan
kritik atas kekurangan Popper dan terutama pada Kuhn, sekaligus mengembangkan
pemikiran keduanya.[12]
Menurut
Lakatos, persoalan pokok yang berhubungan dengan logika penemuan (Logic of
Discovery) tidak bisa dibahas secara memuaskan kecuali dalam kerangka
metodologi program riset. Dalam program riset ini terdapat aturan-aturan
metodologis yang disebtu dengan “heuristik”, yaitu kerangka kerja konseptual
sebagai konsekuensi dari bahasa. Heuristik itu adalah suatu keharusan untuk
melakuakn penemuan-penemuan lewat penalaran induktif dan percobaan-percobaan
sekaligus menghindarkan kesalahan dalam memecahkan masalah.[13]
Ada dua aturan dalam riset yakni heuristik negatif (menunjukkan cara-cara yang harus
dihindarkan) dan heuristik positif (cara-cara yang harus dijalankan).[14]
Imre Lakatos mempertegas hal ini dengan
perkataannya bahwa Khun tidak faham akan falsifikasi Popper. Menurutnya
rangkaian teori-teori harus dinilai sebagai ilmiah atau tidak ilmiah dan
bukannya teori tunggal.Rangkaian ini membutuhkan suatu program riset sebagai
suatu komunitas.[15]
Inilah yang menjadi inti pokok program yang
terlindungi dari ancaman falsifikasi. Suatu program
riset berhasil apabila ia menghasilkan perubahan problem yang progresif. Jika
itu merosot berarti ia membawa kegagalan.
2. Elemen-elemen Penting dalam Program Riset
Menurut Imre Lakatos terdapat tiga elemen yang
masing mempunyai fungsi yang berbeda dan harus diketahui dalam kaitanya dengan
Program Riset, yaitu:[16]
a.
inti pokok(hard-core)
Dalam hal ini asumsi dasar yang menjadi ciri dari
program riset ilmiah yang melandasinya, yang tidak dapat ditolak atau
dimodifikasi.“Inti pokok” ini dilindungi dari ancaman falsifikasi.
b.
Lingkaran
Pelindung (Protective-belt)
Terdiri dari hepotesa-hipotesa bantu(auxiliary
hypothese) dalam kondisi-kondisi awal. Dalam mengartikulasi lingkaran
pelindung, lingkaran pelindung ini harus menahan berbagai serangan, pengujian
dan memperoleh penyesuaian, bahkan perubahan dan pengertian, demi
mempertahankan hard-core.
c.
Serangkaian
Teori (a series theory)
yaitu keterkaitan teori di mana teori yang
berikutnya merupakan akibat dari klausul bantu yang ditambahkan dari teori
sebelumnya. Untuk itu, bagi Lakatos, yang harus dinilai sebagai ilmiah atau
tidak ilmiah bukanlah teori tunggal, melainkan rangkaian beberapa teori.Yang
terpenting dari serangkaian perkembangan ilmu dan rangkaian teori ada ditandai
oleh kontinuitas yang pasti.Kontinuitas ini berangkat dari program riset yang
murni.
[1]Alexander
Burung, “Thomas Kuhn” ,
Diakses pada 17 Agustus 2004, dari
http://plato.stanford.edu/entries/thomas-kuhn/.
[3]Tanpa Nama, “Revolusi”, Diakses pada Tanggal 25 November 2011,
Dari http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi.
[7]Thomas Kuhn, Peran Pradigma dalam Revolui
Sains, terjemah dari The Structure of Scientific
Revolutions, (Bandung : CV. Remaja Karya, 1993), h. 91
[8]Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar
Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta:
Belukar, 2008), h. 132.
[9]Thomas Kuhn, Op. Cit., h. 101.
[10]Muhammad Muslih, Op. Cit.,, h. 133.
[11] M Nur Huda, “Program Riset (Pemikiran Imre Lakatos)”, Diakses pada
Tanggal, 09 Januari 2012 dari
http://pendidikan-pemikiran.blogspot.com/2012/01/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html?showComment=1334273681404#c1011544283430837873
[12] Mohammad Muslih, Op. Cit., h. 69
[14]Kondrat Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: PT. Prestasi
Pustakaraya, 2011), h. 182
[16]Mohammad Muslih, Op. Cit., h. 71
Tidak ada komentar:
Posting Komentar