BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Filsafat
adalah suatu pengetahuan yang bersifat eksistensial artinya sangat erat
hubungannya dengan kehidupan sehari-hari. Bahkan, dapat dikatakan bahwa
filsafatlah yang menjadi motor penggerak kehidupan kita sehari-hari baik
sebagai manusia pribadi maupun sebagai manusia kolektif dalam suatu masyarakat
atau bangsa.
Kata
ilmu merupakan terjemahan dari kata “science” artinya “to know”.
Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu
pengetahuan alam yang bersifat kuantitatif dan objektif. Ilmu dikatakan
rasional, karena ilmu merupakan hasil dari proses berfikir dengan menggunakan
akal, atau hasil berfikir secara rasional.
Filsafat
ilmu merupakan bagian epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik
mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiyah) atau dengan kata lain filsafat ilmu
adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala
hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi
kehidupan manusia.
1.2 Tujuan penulisan
Tujuan
penulisan pada bab ini menjelaskan tentang pengertian filsafat dan
cabang-cabangnya, ilmu, filsafat ilmu, yang slalu melakukan pencarian dan
penemuan hakikat dari seluruh kenyataan (reality). Pembahasan dari
uraian ini diharapkan dapat berguna sebagai kerangka dalam mengenal dan
memahami filsafat, ilmu, dan filsafat ilmu.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Perkembangan Ilmu
Sejarah ilmu pada dasarnya
merupakan sejarah pikiran umat manusia terlepas dari asal usul kebangsaan
maupun asal mula negara, dan pembagian lintasan sejarah ilmu yang paling tepat
adalah menurut urutan waktu dan bukan berdasarkan pembagian negara, lintasan
sejarah ilmu terbaik mengikuti pembagian kurun waktu dari satu zaman yang
terdahulu ke zaman berikutnya, zaman tertua dari pertumbuhan ilmu adalah zaman
kuno yang merentang antara tahun kurang lebih 4000 SM-400M. Zaman kuno ini
dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu:
- ±
4000- 6000 s.M : Masa Mesir dan Babilon
- 600-30
s.M : Masa Yunani Kuno
- 30
SM-400 M : Masa Romawi[1]
Di mesir mulai tumbuh berbagai gagasan
ilmiah dari pengetahuan arsitektur, ilmu gaya, ilmu hitung, ilmu ukur. Semua
ilmu ini penting untuk keperluan membangun berbagai kuil, istana, dan piramid.
Ilmu bedah dan ilmu kedokteran juga mulai dikembangkan di Mesir, di Babilonia
dikembangkan berbagai gagasan ilmiah dari ilmu bintang dan ilmu pasti. Suatu
hal lain yang perlu diketahui bahwa masih melekat pada pertumbuan ilmu pada
masa yang pertama ini adalah adanya penjelasan penjelasan yang persifat gaib.
Pada masa berikutnya di Yunani Kuno antara tahun 600-30 S.M mengenal siapa para
pengembang ilmu serta tempat dan tahun kelahirannya.
Ada dua jenis ilmu yang dipelajari yang
pada waktu itu mendekati kematangannya, pertama, ilmu kedokteran,
praktek yang setidaknya mencoba menerapkan metode yang berdisiplin dalam
pengamatan dan penarikan kesimpulan, dan kedua, geometri, yang sedang
mengumpulkan setumpukan hasil di seputar hubungan-hubungan antara ilmu hitung
yang disusun secara khusus dan sedang mendekati masalah-masalah struktur logis
serta masalah-masalah definisi. Imuwan-ilmuwan yang terkemuka pada waktu itu di
antaranya adalah Thales (±525-654 s.M.) merupakan ilmuwan yang pertama di dunia
karena ia memplopori tumbuhnya Ilmu Bintang, Ilmu Cuaca, Ilmu Pelayaran, dan
Ilmu Ukur dengan berbagai ciptaaan dan penemuan penting. Ilmuwan Yunani Kuno
kedua adalah Pythagoras (578?-510 s.M.) merupakan ahli Ilmu Pasti. Ilmuwan
Yunani Kuno yang ketiga adalah Democritus (±470-±400 s.M.), gagasan ilmiahnya
yang terkenal ialah tentang atom.
Perkembangan ilmu pada Masa berikutnya
adalah Masa Romawi yang merupakan masa terakhir dari pertumbahan ilmu pada
Zaman Kuno dan merupakan masa yang paling sedikit memberikan sumbangsih pada
seajarah ilmu dalam Zaman Kuno. Namun bangsa Romawi memiliki kemahiran dalam
kemampuan keinsinyuran dan keterampilan ketatalaksanaan serta mengatuur hukum
dan pemerintahan. Bangsa ini tidak menekankan soal-soal praktis dan mengabaikan
teori ilmiah, sehingga pada masa ini tidak muncul ilmuwan yang terkemuka.
Perkembangan berikutnya pada zaman
pertengahan, ribuan naskah pengetahuan dari Zaman Yunani Kuno yang
terselamatkan dan diterjemahkan dalam bahasa Arab oleh cendekiawan Muslim dan
sebagian ditambahi catatan ulasan, abad VII dan VIII Kaum Muslim meguasai
wilayah-wilayah Asia Kecil sampai Mesir dan Spanyol. Kota-kota yang merupakan
pusat-pusat kebudayaannya ialah Bagdad, Damaskus, Kairo, Kordoba, dan Toledo.
Ilmuwan-ilmuwan Muslim yang terkenal seperti Al-Razi (865-925) dan Ibnu Sina
(980-1037) adalah ahli ilmu Kedokteran, Jabir ibn Hayyan (±721-±815) dalam
Pengetahuan Kimia dan obat-obatan, serta dalam Ilmu Penglihatan oleh Ibn
al-Haytham (965-1038).
Pada abad XI bangsa-bangsa Eropa Utara
berangsur-angsur mengetahui perkembangan pengetahuan ilmiah yang berlagsung di
daerah Muslim. Dan dengan sebab itu Abad XIV-XVI dikenal Zaman Pencerahan (renaissance)
di Eropa, ditandai dengan kelahiran kembali semua ilmiah maupun pengetahuan
kemanusiaan dari Masa Yunani Kuno. Ilmuwan yang terkemuka saat itu ialah
Nicolaus Copernicus (1473-1543) seorang peletak dasar Ilmu Bintang Modern.
Lainnya adalah Andreas Vesailus (1514-1564) ahli Ilmu Urai Tubuh Modern. Dengan
berakhirnya Zaman Pencerahan dunia memasuki Zaman Modern mulai Abad XVII,
pengertian ilmu yang modern dan berlainan dengan ilmu lama atau klasik mulai
berkembang dalm abad ini. Perkembangan ini terjadi karena perkembangan 3 hal,
yaitu perubahan alam pikiran orang, kemajuan teknologi, dan lahirnya tata cara
ilmiah.
Pada Zaman ini banyak melahirkan ilmuwan
dengan teori baru di bidang ilmu pengetahuan yang beragam. Misal, Isaac Newton
(1642-1727) penemu Kaidah Gaya Berat dan Teori Butir Cahaya, Thomas Robert
Malthus (1766-1834) Teori Kependudukan. Setelah memasuki Abad XX pertumbuhan
ilmu di dunia mengalami ledakan, karena boleh dikatakan setiap tahun puluhan
penemuan hasil penelitian para ilmuwan muncul.[2]
2.2 Kebenaran Ilmiah
- Definisi kebenaran
Kebenaran merupakan satu nilai utama di
dalam kehidupan manusia. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah
kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan
Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan
(dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan
yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2
pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu
pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidak benaran).
Dalam bahasan ini, makna “kebenaran”
dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Poedjawiyatna
mengatakan bahwa persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang
disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus dengan aspek obyek yang
diketahui, jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif. Meskipun
demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat
akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan
demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia
yang transenden,dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang
terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran.[3]
Kebenaran dapat dibagi dalam tiga jenis
menurut telaah dalam filsafat ilmu, yaitu
:
1.
Kebenaran
Epistemologikal, adalah kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia,
2.
Kebenaran
Ontologikal, adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu
yang ada maupun diadakan.
3.
Kebenaran
Semantikal, adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata
dan bahasa.
- Teori-teori kebenaran
Perbincangan tentang kebenaran dalam
perkembangan pemikiran filsafat sebenarnya sudah dimulai sejak Plato melalui
metode dialog membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori
pengetahuan yang paling awal.
Kemudian dilanjutkan oleh Aristoteles
hingga saat ini, dimana teori pengetahuan berkembang terus untuk mendapatkan
penyempurnaan. Untuk mengetahui ilmu pengetahuan mempunyai nilai kebenaran atau
tidak sangat berhubungan erat dengan sikap dan cara memperoleh pengetahuan.
Berikut secara tradisional teori-teori
kebenaran itu antara lain sebagai berikut:
1.
Teori
Kebenaran korespondensi
Adalah
suatu pengetahuan mempunyai nilai benar apabila pengetahuan itu mempunyai
saling kesesuaian dengan kenyataan yang diketahui.
2.
Teori
Kebenaran koherensi (saling berhubungan)
Adalah
suatu proposisi atau makna pernyataan dari suatu pengetahuan bernilai benar
bila proposisi itu mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang
terdahulu yang bernilai benar.
3.
Teori
Kebenaran pragmatis
Adalah
sesuatu itu benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di dalam keseimbangan
dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme
ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus
mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.[4]
4.
Teori
Kebenaran Positivisme
Adalah cara pandang memahami
dunia dengan berdasarkan sains. Positivisme dirintis oleh August Comte
(1798-1857), yang dianggap sebagai Bapak ilmu Sosiologi Barat. Positivisme
sebagai perkembangan Empirisme yang ekstrem, adalah pandangan yang menganggap
bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data yang nyata atau
empirik”, atau yang mereka namakan positif.
5.
Teori
Kebenaran Esensialisme
Adalah pendidikan yang
didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban
umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance. Esensialisme
memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki
kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih
yang mempunyai tata yang jelas.
6.
Teori
Konstruktivisme
Adalah sebagai
pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan menciptakan sesuatu makna
dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan
yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan
dan pembinaan pengalaman demi pengalaman.
7.
Teori
Kebenaran Religiusisme
Memaparkan bahwa
manusia bukanlah semata-mata makhluk jasmaniah, tetapi juga makhluk rohaniah.
Oleh karena itu, muncullah teori religius ini yang kebenarannya secara
ontologis dan aksiologis bersumber dari sabda Tuhan yang disampaikan melalui
wahyu.[5]
2.3 Ilmu
a.
Definisi
Ilmu
Istilah
ilmu atau science merupakan suatu kata yang sering diartikan dengan
berbagai makna, atau mengandung lebih dari satu arti. Science dalam arti
berbagai natural science, biasanya dimaksud dalam ungkapan “sainsdan
teknologi”.
Seorang
filsuf John G. Kemeney juga menggunakan ilmu dalam arti semua pengetahuan yang
dihimpun dengan perantara metode ilmiah (all knowledge collecled by means
makes knowledge).
Charles
Singer merumuskan bahwa ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan (science
is the process wich makes knowledge).
Menurut
Jujun S. Suriasumantri, pengertian ilmu adalah salah satu dari buah pemikiran
manusia dalam menjawab pertanyaan-pertanyan.ilmu merupakan salah satu dari
pengetahuan manusia. Untuk dapat menghargai ilmu sebagaimana mestinya
sesungguhnya kita harus mengerti apakah hakikat ilmu itu sebenarnya.[6]
Dapat
disimpulkan bahwa ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang disusun secara
sistematis, konsisten dan kebenarannya telah teruji empiris. Ilmu adalah bagian
dari pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem, dan terukur serta dapat
dibuktikan kebenarannya secara empiris. Sementara itu, pengetahuan adalah
keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun
fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupa common
sense, sedangkan ilmu sudah merupakan bagian yang lebih tinggi dari itu karena
memiliki metode dan mekanisme tertentu. Jadi ilmu lebih khusus daripada
pengetahuan, tetapi tidak berarti semua ilmu adalah pengetahuan.[7]
b.
Cabang-cabang ilmu
Ilmu berkembang pesat, demikian juga
dengan cabang-cabangnya. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang
dari dua cabang utama yakni, filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun
ilmu-ilmu alam (the natural science) dan filsafat moral yang kemudian
berkembang kedalam cabang-cabang ilmu sosial (the social science).
Ilmu alam membagi diri menjadi dua
kelompok lagi yakni ilmu alam (the physical science) dan ilmu hayat (the
biologycal sciences). Ilmu alam bertujuan mempelajari zat yang membentuk
alam semesta sedangkan alam kemudian bercabang lagi menjadi Fisika (mempelajari
massa dan energi), Kimia (mempelajari subtansi zat), Astronomi (mempelajari
benda-benda langit), dan Ilmu bumi atau the earth science (mempelajari
bumi kita ini).
Pada ilmu sosial berkembang agak lambat
dibandingkan ilmu alam. Pada intinya ilmu sosial meliputi Antropologi
(mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat), Psikologi (mempelajari
proses mental dan kelakuan manusia), Ekonomi (mempelajari manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya lewat proses pertukaran), Sosiologi (mempelajari
struktur organisasi sosial manusia), Ilmu politik (mempelajari sistem dan
proses dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara).
Disamping ilmu alam dan ilmu sosial
pengetahuan mencakup humaniora dan matematika. Humaniora terdiri dari seni,
filsafat, agama, sejarah, dan bahasa. Matematika mencakup tentang aritmatika,
geometri, teori bilangan, aljabar, trigonometri, geometri analitik, persamaan
difensial, kalkulus, topologi, geometri non euclid, teori fungsi, probabilitas
dan statik logika dan logika matematis.[8]
c.
Macam-macam
Ilmu Pengetahuan
Pembagian
ilmu pengetahuan tergantung kepada cara dan tempat para ahli itu meninjaunya.
Pada Zaman Purba dan Abad Pertengahan pembagian ilmu pengetahuan berdasarkan
kesenian yang merdeka, yang tediri dari dua bagian yaitu:
1.
Trivium
2.
Qudrivium
Trivium
atau tiga bagian ialah:
1. Gramatika, bertujuan agar manusia dapat menyusun
pembicaraan dengan baik
2. Dialektika, bertujuan agar manusia dapat
berpikir dengan baik, formal, dan logis.
3. Retorika, bertujuan agar manusia dapat
berbicara dengan baik.
Qudrivium
atau empat bagian terdiri dari:
1.
Aritmatika,
adalah ilmu hitung
2.
Geometrika,
adalah ilmu ukur
3.
Musika,
adalah ilmu musik
4.
Astronomia,
adalah ilmu perbintangan[9]
[1] Ravertz,
Jerome R. Filsafat Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan
(Yogyakarta:Pelajar Offest, 2007), hal. 72
[2] The Liang Gie.
Lintasan Sejarah Ilmu (Yogyakarta:
PUBIB, 1998), hal. 43
[4] Ibid, hal.
66
[5] Adib Mohammad,
Filsafat Ilmu (Pustaka Pelajar, 2010), hal. 122-124
[6] Ibid, 49
[8] Ibid, 50
[9] Ibid, hal.
52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar