Minggu, 21 April 2013

SEJARAH ILMU DAN PENGETAHUAN


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Filsafat adalah suatu pengetahuan yang bersifat eksistensial artinya sangat erat hubungannya dengan kehidupan sehari-hari. Bahkan, dapat dikatakan bahwa filsafatlah yang menjadi motor penggerak kehidupan kita sehari-hari baik sebagai manusia pribadi maupun sebagai manusia kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa.

Kata ilmu merupakan terjemahan dari kata “science” artinya “to know”. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam yang bersifat kuantitatif dan objektif. Ilmu dikatakan rasional, karena ilmu merupakan hasil dari proses berfikir dengan menggunakan akal, atau hasil berfikir secara rasional.
Filsafat ilmu merupakan bagian epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiyah) atau dengan kata lain filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi kehidupan manusia.

1.2  Tujuan penulisan
Tujuan penulisan pada bab ini menjelaskan tentang pengertian filsafat dan cabang-cabangnya, ilmu, filsafat ilmu, yang slalu melakukan pencarian dan penemuan hakikat dari seluruh kenyataan (reality). Pembahasan dari uraian ini diharapkan dapat berguna sebagai kerangka dalam mengenal dan memahami filsafat, ilmu, dan filsafat ilmu.



BAB II
PEMBAHASAN
           

2.1  Sejarah Perkembangan Ilmu
Sejarah ilmu pada dasarnya merupakan sejarah pikiran umat manusia terlepas dari asal usul kebangsaan maupun asal mula negara, dan pembagian lintasan sejarah ilmu yang paling tepat adalah menurut urutan waktu dan bukan berdasarkan pembagian negara, lintasan sejarah ilmu terbaik mengikuti pembagian kurun waktu dari satu zaman yang terdahulu ke zaman berikutnya, zaman tertua dari pertumbuhan ilmu adalah zaman kuno yang merentang antara tahun kurang lebih 4000 SM-400M. Zaman kuno ini dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu:
  1. ± 4000- 6000 s.M : Masa Mesir dan Babilon
  2. 600-30 s.M : Masa Yunani Kuno
  3. 30 SM-400 M : Masa Romawi[1]
Di mesir mulai tumbuh berbagai gagasan ilmiah dari pengetahuan arsitektur, ilmu gaya, ilmu hitung, ilmu ukur. Semua ilmu ini penting untuk keperluan membangun berbagai kuil, istana, dan piramid. Ilmu bedah dan ilmu kedokteran juga mulai dikembangkan di Mesir, di Babilonia dikembangkan berbagai gagasan ilmiah dari ilmu bintang dan ilmu pasti. Suatu hal lain yang perlu diketahui bahwa masih melekat pada pertumbuan ilmu pada masa yang pertama ini adalah adanya penjelasan penjelasan yang persifat gaib. Pada masa berikutnya di Yunani Kuno antara tahun 600-30 S.M mengenal siapa para pengembang ilmu serta tempat dan tahun kelahirannya.
Ada dua jenis ilmu yang dipelajari yang pada waktu itu mendekati kematangannya, pertama, ilmu kedokteran, praktek yang setidaknya mencoba menerapkan metode yang berdisiplin dalam pengamatan dan penarikan kesimpulan, dan kedua, geometri, yang sedang mengumpulkan setumpukan hasil di seputar hubungan-hubungan antara ilmu hitung yang disusun secara khusus dan sedang mendekati masalah-masalah struktur logis serta masalah-masalah definisi. Imuwan-ilmuwan yang terkemuka pada waktu itu di antaranya adalah Thales (±525-654 s.M.) merupakan ilmuwan yang pertama di dunia karena ia memplopori tumbuhnya Ilmu Bintang, Ilmu Cuaca, Ilmu Pelayaran, dan Ilmu Ukur dengan berbagai ciptaaan dan penemuan penting. Ilmuwan Yunani Kuno kedua adalah Pythagoras (578?-510 s.M.) merupakan ahli Ilmu Pasti. Ilmuwan Yunani Kuno yang ketiga adalah Democritus (±470-±400 s.M.), gagasan ilmiahnya yang terkenal ialah tentang atom.
Perkembangan ilmu pada Masa berikutnya adalah Masa Romawi yang merupakan masa terakhir dari pertumbahan ilmu pada Zaman Kuno dan merupakan masa yang paling sedikit memberikan sumbangsih pada seajarah ilmu dalam Zaman Kuno. Namun bangsa Romawi memiliki kemahiran dalam kemampuan keinsinyuran dan keterampilan ketatalaksanaan serta mengatuur hukum dan pemerintahan. Bangsa ini tidak menekankan soal-soal praktis dan mengabaikan teori ilmiah, sehingga pada masa ini tidak muncul ilmuwan yang terkemuka.
Perkembangan berikutnya pada zaman pertengahan, ribuan naskah pengetahuan dari Zaman Yunani Kuno yang terselamatkan dan diterjemahkan dalam bahasa Arab oleh cendekiawan Muslim dan sebagian ditambahi catatan ulasan, abad VII dan VIII Kaum Muslim meguasai wilayah-wilayah Asia Kecil sampai Mesir dan Spanyol. Kota-kota yang merupakan pusat-pusat kebudayaannya ialah Bagdad, Damaskus, Kairo, Kordoba, dan Toledo. Ilmuwan-ilmuwan Muslim yang terkenal seperti Al-Razi (865-925) dan Ibnu Sina (980-1037) adalah ahli ilmu Kedokteran, Jabir ibn Hayyan (±721-±815) dalam Pengetahuan Kimia dan obat-obatan, serta dalam Ilmu Penglihatan oleh Ibn al-Haytham (965-1038).
Pada abad XI bangsa-bangsa Eropa Utara berangsur-angsur mengetahui perkembangan pengetahuan ilmiah yang berlagsung di daerah Muslim. Dan dengan sebab itu Abad XIV-XVI dikenal Zaman Pencerahan (renaissance) di Eropa, ditandai dengan kelahiran kembali semua ilmiah maupun pengetahuan kemanusiaan dari Masa Yunani Kuno. Ilmuwan yang terkemuka saat itu ialah Nicolaus Copernicus (1473-1543) seorang peletak dasar Ilmu Bintang Modern. Lainnya adalah Andreas Vesailus (1514-1564) ahli Ilmu Urai Tubuh Modern. Dengan berakhirnya Zaman Pencerahan dunia memasuki Zaman Modern mulai Abad XVII, pengertian ilmu yang modern dan berlainan dengan ilmu lama atau klasik mulai berkembang dalm abad ini. Perkembangan ini terjadi karena perkembangan 3 hal, yaitu perubahan alam pikiran orang, kemajuan teknologi, dan lahirnya tata cara ilmiah.
Pada Zaman ini banyak melahirkan ilmuwan dengan teori baru di bidang ilmu pengetahuan yang beragam. Misal, Isaac Newton (1642-1727) penemu Kaidah Gaya Berat dan Teori Butir Cahaya, Thomas Robert Malthus (1766-1834) Teori Kependudukan. Setelah memasuki Abad XX pertumbuhan ilmu di dunia mengalami ledakan, karena boleh dikatakan setiap tahun puluhan penemuan hasil penelitian para ilmuwan muncul.[2]
2.2  Kebenaran Ilmiah
  1. Definisi kebenaran
Kebenaran merupakan satu nilai utama di dalam kehidupan manusia. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidak benaran).
Dalam bahasan ini, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Poedjawiyatna mengatakan bahwa persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus dengan aspek obyek yang diketahui, jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif. Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden,dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran.[3]
Kebenaran dapat dibagi dalam tiga jenis menurut telaah dalam filsafat ilmu, yaitu :
1.      Kebenaran Epistemologikal, adalah kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia,
2.      Kebenaran Ontologikal, adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada maupun diadakan.
3.      Kebenaran Semantikal, adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa.
  1. Teori-teori kebenaran
Perbincangan tentang kebenaran dalam perkembangan pemikiran filsafat sebenarnya sudah dimulai sejak Plato melalui metode dialog membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang paling awal.
Kemudian dilanjutkan oleh Aristoteles hingga saat ini, dimana teori pengetahuan berkembang terus untuk mendapatkan penyempurnaan. Untuk mengetahui ilmu pengetahuan mempunyai nilai kebenaran atau tidak sangat berhubungan erat dengan sikap dan cara memperoleh pengetahuan.
Berikut secara tradisional teori-teori kebenaran itu antara lain sebagai berikut:
1.      Teori Kebenaran korespondensi
Adalah suatu pengetahuan mempunyai nilai benar apabila pengetahuan itu mempunyai saling kesesuaian dengan kenyataan yang diketahui.
2.      Teori Kebenaran koherensi (saling berhubungan)
Adalah suatu proposisi atau makna pernyataan dari suatu pengetahuan bernilai benar bila proposisi itu mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang terdahulu yang bernilai benar.
3.      Teori Kebenaran pragmatis
Adalah sesuatu itu benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di dalam keseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.[4]
4.      Teori Kebenaran Positivisme
Adalah cara pandang memahami dunia dengan berdasarkan sains. Positivisme dirintis oleh August Comte (1798-1857), yang dianggap sebagai Bapak ilmu Sosiologi Barat. Positivisme sebagai perkembangan Empirisme yang ekstrem, adalah pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data yang nyata atau empirik”, atau yang mereka namakan positif.
5.      Teori Kebenaran Esensialisme
Adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
6.      Teori Konstruktivisme
Adalah sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan menciptakan sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman.
7.      Teori Kebenaran Religiusisme
Memaparkan bahwa manusia bukanlah semata-mata makhluk jasmaniah, tetapi juga makhluk rohaniah. Oleh karena itu, muncullah teori religius ini yang kebenarannya secara ontologis dan aksiologis bersumber dari sabda Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.[5]

2.3  Ilmu
a.       Definisi Ilmu
Istilah ilmu atau science merupakan suatu kata yang sering diartikan dengan berbagai makna, atau mengandung lebih dari satu arti. Science dalam arti berbagai natural science, biasanya dimaksud dalam ungkapan “sainsdan teknologi”.
Seorang filsuf John G. Kemeney juga menggunakan ilmu dalam arti semua pengetahuan yang dihimpun dengan perantara metode ilmiah (all knowledge collecled by means makes knowledge).
Charles Singer merumuskan bahwa ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan (science is the process wich makes knowledge).
Menurut Jujun S. Suriasumantri, pengertian ilmu adalah salah satu dari buah pemikiran manusia dalam menjawab pertanyaan-pertanyan.ilmu merupakan salah satu dari pengetahuan manusia. Untuk dapat menghargai ilmu sebagaimana mestinya sesungguhnya kita harus mengerti apakah hakikat ilmu itu sebenarnya.[6]
Dapat disimpulkan bahwa ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematis, konsisten dan kebenarannya telah teruji empiris. Ilmu adalah bagian dari pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem, dan terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris. Sementara itu, pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense, sedangkan ilmu sudah merupakan bagian yang lebih tinggi dari itu karena memiliki metode dan mekanisme tertentu. Jadi ilmu lebih khusus daripada pengetahuan, tetapi tidak berarti semua ilmu adalah pengetahuan.[7]

b.      Cabang-cabang ilmu
Ilmu berkembang pesat, demikian juga dengan cabang-cabangnya. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni, filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam (the natural science) dan filsafat moral yang kemudian berkembang kedalam cabang-cabang ilmu sosial (the social science).
Ilmu alam membagi diri menjadi dua kelompok lagi yakni ilmu alam (the physical science) dan ilmu hayat (the biologycal sciences). Ilmu alam bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam semesta sedangkan alam kemudian bercabang lagi menjadi Fisika (mempelajari massa dan energi), Kimia (mempelajari subtansi zat), Astronomi (mempelajari benda-benda langit), dan Ilmu bumi atau the earth science (mempelajari bumi kita ini).
Pada ilmu sosial berkembang agak lambat dibandingkan ilmu alam. Pada intinya ilmu sosial meliputi Antropologi (mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat), Psikologi (mempelajari proses mental dan kelakuan manusia), Ekonomi (mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya lewat proses pertukaran), Sosiologi (mempelajari struktur organisasi sosial manusia), Ilmu politik (mempelajari sistem dan proses dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara).
Disamping ilmu alam dan ilmu sosial pengetahuan mencakup humaniora dan matematika. Humaniora terdiri dari seni, filsafat, agama, sejarah, dan bahasa. Matematika mencakup tentang aritmatika, geometri, teori bilangan, aljabar, trigonometri, geometri analitik, persamaan difensial, kalkulus, topologi, geometri non euclid, teori fungsi, probabilitas dan statik logika dan logika matematis.[8]
c.       Macam-macam Ilmu Pengetahuan
            Pembagian ilmu pengetahuan tergantung kepada cara dan tempat para ahli itu meninjaunya. Pada Zaman Purba dan Abad Pertengahan pembagian ilmu pengetahuan berdasarkan kesenian yang merdeka, yang tediri dari dua bagian yaitu:
1.      Trivium
2.      Qudrivium
Trivium atau tiga bagian ialah:
1.      Gramatika, bertujuan agar manusia dapat menyusun pembicaraan dengan baik
2.      Dialektika, bertujuan agar manusia dapat berpikir dengan baik, formal, dan logis.
3.      Retorika, bertujuan agar manusia dapat berbicara dengan baik.
Qudrivium atau empat bagian terdiri dari:
1.      Aritmatika, adalah ilmu hitung
2.      Geometrika, adalah ilmu ukur
3.      Musika, adalah ilmu musik
4.      Astronomia, adalah ilmu perbintangan[9]



[1] Ravertz, Jerome R. Filsafat Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan (Yogyakarta:Pelajar Offest, 2007), hal. 72
[2] The Liang Gie. Lintasan  Sejarah Ilmu (Yogyakarta: PUBIB, 1998), hal. 43
[3][3] Tim Dosen Filsafat Fakultas UGM, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 2003), hal. 23
[4] Ibid, hal. 66
[5] Adib Mohammad, Filsafat Ilmu (Pustaka Pelajar, 2010), hal. 122-124
[6] Ibid, 49
[7] http://msubhanzamzami.wordpress.com/2010/11/11/sejarah-perkembangan-ilmu-pengetahuan
[8] Ibid, 50
[9] Ibid, hal. 52

Tidak ada komentar:

Posting Komentar