A.
Auguste Comte
Auguste Comte dilahirkan di Montpellier, Prancis tahun 1798, keluarganya
beragama Khatolik dan berdarah bangsawan. Dia mendapatkan pendidikan di Ecole
Polytechnique di Prancis, namun tidak sempat menyelesaikan sekolahnya karena
banyak ketidakpuasan didalam dirinya, dan sekaligus ia adalah mahasiswa yang keras
kepala dan suka memberontak.
Comte akhirnya memulai karir profesionalnya dengan
memberi les privat bidang matematika. Namun selain matematika ia juga tertarik
memperhatikan masalah-masalah yang berkaitan dengan masyarakat terutama minat
ini tumbuh dengan suburnya setelah ia berteman dengan Saint Simon yang
mempekerjakan Comte sebagai sekretarisnya.[1]
Kehidupan ekonominya pas-pasan, hampir dapat dipastikan hidupnya dalam
kemiskinan karena ia tidak pernah dibayar sebagaimana mestinya dalam memberikan
les privat, dimana pada waktu itu biaya pendidikan di Prancis sangat mahal.
Pada tahun 1842 ia menyelesaikan karya besarnya yang berjudul Course of
Positive Philosophy dalam 6 jilid, dan juga karya besar yang cukup terkenal
adalah System of Positive Politics yang merupakan persembahan Comte bagi pujaan
hatinya Clothilde de Vaux, yang begitu banyak mempengaruhi pemikiran Comte di
karya besar keduanya itu. Dan dari karyanya yang satu ini ia mengusulkan adanya
agama humanitas, yang sangat menekankan pentingnya sisi kemanusiaan dalam
mencapai suatu masyarakat positifis.
Comte hidup pada masa akhir revolusi Prancis termasuk didalamnya
serangkaian pergolakan yang terus berkesinambungan sehingga Comte sangat
menekankan arti pentingnya keteraturan sosial. Pada tahun 1857 ia mengakhiri
hidupnya dalam kesengsaraan dan kemiskinan namun demikian namanya tetap kita
kenang hingga sekarang karena kegemilangan pikiran serta gagasannya.
B.
Hukum Tiga Tahap Auguste Comte
Comte termasuk pemikir yang digolongkan dalam Positivisme yang memegang
teguh bahwa strategi pembaharuan termasuk dalam masyarakat itu dipercaya dapat
dilakukan berdasarkan hukum alam. Masyarakat positivis percaya bahwa
hukum-hukum alam yang mengendalikan manusia dan gejala sosial dapat digunakan
sebagai dasar untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan sosial dan politik untuk
menyelaraskan institusi-institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu.[2]
Comte juga melihat bahwa masyarakat sebagai suatu keseluruhan organis yang
kenyataannya lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung dan
untuk mengerti kenyataan ini harus dilakukan suatu metode penelitian empiris.
Sehingga dapat meyakinkan kita bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari
alam seperti halnya gejala fisik.
Untuk itu Comte mengajukan 3 metode penelitian empiris yang biasa juga
digunakan oleh bidang-bidang fisika dan biologi, yaitu pengamatan, dimana dalam
metode ini peneliti mengadakan suatu pengamatan fakta dan mencatatnya dan
tentunya tidak semua fakta dicatat, hanya yang dianggap penting saja. Metode
kedua yaitu Eksperimen, metode ini bisa dilakukans secara terlibat ataupun
tidak dan metode ini memang sulit untuk dilakukan. Metode ketiga yaitu
Perbandingan, tentunya metode ini memperbandingkan satu keadaan dengan keadaan
yang lainnya.
Dengan menggunakan metode-metode diatas Comte berusaha merumuskan
perkembangan masyarakat yang bersifat evolusioner menjadi 3 kelompok yaitu :
1. Tahap Teologis, merupakan periode paling lama
dalam sejarah manusia, dan dalam periode ini dibagi lagi ke dalam 3 subperiode,
yaitu Fetisisme, yaitu bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif,
meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya
sendiri. Politheisme, muncul adanya anggapan bahwa ada kekuatan-kekuatan yang
mengatur kehidupannya atau gejala alam. Monotheisme, yaitu kepercayaan dewa
mulai digantikan dengan yang tunggal, dan puncaknya ditunjukkan adanya
Khatolisisme.
2.
Tahap Metafisik, merupakan tahap transisi antara tahap
teologis ke tahap positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan
hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dalam akal budi.
3. Tahap Positif
ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan
terakhir, tetapi sekali lagi pengetahuan itu sifatnya sementara dan tidak
mutlak, disini menunjukkan bahwa semangat positivisme yang selalu terbuka
secara terus menerus terhadap data baru yang terus mengalami pembaharuan dan
menunjukkan dinamika yang tinggi. Analisa rasional mengenai data empiris
akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum yang bersifat
uniformitas.[3]
Comte mengatakan bahwa disetiap tahapan tentunya akan selalu terjadi suatu
konsensus yang mengarah pada keteraturan sosial, dimana dalam konsensus itu
terjadi suatu kesepakatan pandangan dan kepercayaan bersama, dengan kata lain
sutau masyarakat dikatakan telah melampaui suatu tahap perkembangan diatas
apabila seluruh anggotanya telah melakukan hal yang sama sesuai dengan
kesepakatan yang ada, ada suatu kekuatan yang dominan yang menguasai masyarakat
yang mengarahkan masyarakat untuk melakukan konsensus demi tercapainya suatu
keteraturan sosial.
Pada tahap teologis, keluarga merupakan satuan sosial yang dominan, dalam
tahap metafisik kekuatan negara-bangsa (yang memunculkan rasa nasionalisme atau
kebangsaan) menjadi suatu organisasi yang dominan. Dalam tahap positif muncul
keteraturan sosial ditandai dengan munculnya masyarakat industri dimana yang
dipentingkan disini adalah sisi kemanusiaan. (Pada kesempatan lain Comte
mengusulkan adanya Agama Humanitas untuk menjamin terwujudnya suatu keteraturan
sosial dalam masyarakat positif ini).[4]
C.
John Stuart Mill
John Stuart Mill (lahir di Pentonville, London, Inggris, 20 Mei 1806 –
meninggal di Avignon, Perancis, 8 Mei 1873 pada umur 66 tahun) adalah seorang
filsuf empiris dari Inggris. Ia juga dikenal sebagai reformator dari
utilitarianisme sosial. Ayahnya, James Mill, adalah seorang sejarawan dan
akademisi. Ia mempelajari psikologi, yang merupakan inti filsafat Mill, dari
ayahnya. Sejak kecil, ia mempelajari bahasa Yunani dan bahasa Latin. Pada usia
20 tahun, ia pergi ke Perancis untuk mempelajari bahasa, kimia, dan matematika.[5]
Satu-satunya sumber bagi segala pengenalan adalah pengalaman. Oleh karena
itu Induksi mewujudkan satu-satunya jalan yang dapat dipercaya, yang menuju
kepada pengenalan.
Menurut Mill, psikologi adalah suatu ilmu pengetahuan dasar yang menjadi
asas bagi filsafat. Di sini, pandangannya berbeda dengan Comte. Tugas psikologi
adalah menyelidiki apa yang disajikan oleh kesadaran, artinya sistem indrawi
manusia dan hubungan-hubungannya. Mill berpendapat bahwa satu-satunya sumber
bagi segala pengenalan adalah pengalaman. Oleh karena itu, induksi menjadi
jalan kepada pengenalan.
Di dalam etika, Mill melihat hubungan timbal-balik antara manusia secara
pribadi dengan masyarakat atas dasar prinsip utilitarianisme. Dengan demikian,
tindakan yang dilakukan oleh manusia bertujuan membawa kepuasan bagi dirinya
sendiri secara psikologis, bukan orang lain atau nilai-nilai. Dia adalah
seorang pendukung Utilitarianisme, sebuah teori etika yang dikembangkan oleh
filsuf Jeremy Bentham.
D.
Logika Induksi
Dari satu pengalaman saja orang mungkin mempunyai pengetahuan. Pengetahuan
khusus ini dapat juga tercapai berulangkali dan kemudian dijadikan landasan
oleh manusia untuk pengetahuan yang lebih luas wilayahnya, sehingga berlaku
umum. Jalan pikiran dari putusan yang khusus kepada putusan yang umum itu
disebut Induksi.
Secara sederhana, logika induksi merupakan logika yang digunakan untuk
sampai pada pernyataan yang universal dari hal-hal yang bersifat individual.
Kesimpulan ditarik dari hal-hal yang khusus untuk menuju kesimpulan yang
bersifat umum. Tidak seperti logika deduktif, dalam logika induksi, kerja akal
atau fikiran beranjak dari pengetahuan sebelumnya mengenai sejumlah kasus
sejenis yang bersifat spesifik, khusus, individual, dan nyata yang ditemukan
oleh pengalaman inderawi kita. Ia berangkat dari sesuatu yang riel, lalu dari
berbagai kenyataan tersebut disimpulkan pengetahuan baru yang bersifat lebih
umum. Jadi, generalisasi dalam logika induksi ini selalu berdasar pada hal-hal
yang empiris.[6]
Logika induksi adalah sebuah proses
penalaran yang sesungguhnya telah dilakukan manusia semenjak dahulu,
bersama-sama dengan penalaran deduksi. Keduanya memiliki perbedaan logika
penalaran, namun sesungguhnya saling melengkapi. Dalam pengembangan keilmuan,
kedua proses dijalankan secara bergantian. Secara tidak langsung prinsip
berfikir deduktif menyumbang kepada kerja logika induksi, demikian pula
sebaliknya. Induksi ada dua macam :
a. Induksi Sempurna
Jika putusan umum itu merupakan penjumlahan dari putusan
khusus. Maka Induksi itu sempurna. Misalnya : dari masing-masing mahasiswa pada
suatu fakultas, diketahui bahwa ia warga negara Indonesia. Maka dapat diadakan
putusan umum : semua mahasiswa fakultas itu warga negara Indonesia.[7]
b. Induksi Tidak
Sempurna
Jika demi Induksi ada putusan umum yang bukan merupakan
penjumlahan, melainkan seakan-akan loncatan dari yang khusus kepada yang umum,
itulah induksi tidak sempurna.[8]
Induksi tidak sempurna ini ada dua lagi macamnya demi
sifat yang dimilikinya dalam kekuatan putusan yang ternyata :
1.
Dalam ilmu alam putusan yang tercapai melalui Induksi
tidak sempurna ini berlaku umum, mutlak jadi tidak ada kecualinya. Hukum air
mengenai pembekuannya tak mengizinkan pengecualiannya. Tidak ragu-ragu ilmu
berani mengamalkan tentang pembekuan air itu. Begitulah mengenai lain-lain
hukum alam. Kalau sudah diketahui dengan pasti bahwa itu hukum alam, maka dapat
juga dikatakan bahwa hukum itu berlaku dengan pasti. Hukunm alam boleh
dikatakan berlaku umum mutlak. Hal yang demikian itu secara filsafat
menimbulkan kesulitan, paling sedikit timbullah persoalan : bagaimana orang
dapat memastikan bahwa putusan yang diperoleh secara induktif itu sungguh umum,
sedangkan pengalamannya hanya berlaku khusus.
2. Jika ilmu mempunyai
objek yang terjadinya bisa kena pengaruh dari manusia yang sedikit-banyaknya
dapat ikut menentukan kejadian-kejadian yang menjadi pandangan ilmu, maka lalu
lain pula halnya. Ilmunya kami sebut ilmu sosial serta objek penyelidikannya
mungkin terpengaruhi oleh kehendak manusia. Oleh karena manusia mempunyai daya
memilih dan sebab itu mungkin bertindak atau tidak bertindak, malahan mungkin
juga bertindak lain dan tidak dapat dipastikan sebelumnya. Ada juga semacam
hukum terdapat pada tindakan-tindakan manusia, tetapi tidaklah mutlak umum.
Selalu ada kemungkinan lain, jadi ada kekecualian. Kalau pada prinsipnya hukum
alam tidak ada kekecualiannya, hukum-hukum pada ilmu sosial selalu ada
kemungkinan kekecualiannya.
Cara befikir dalam logika induksi adalah melalui analogi, yaitu persamaan
antar bentuk yang menjadi dasar terjadinya bentuk-bentuk yang lain. Dalam
analogi kita mempersamakan dua hal yang sebenarnya tidak sama persis. Analogi membandingkan
dua hal atau lebih yang memiliki kesamaan tertentu pada beberapa segi dan
menyimpulkan keduanya memiliki kesamaan dalam segi yang lain.[9]
Memang terdapat kritikan terhadap metode ilmiah ini, khususnya pada apa yang
disebut kebenaran umum (general truth), yaitu kesimpulan umum yang terdapat
dari hasil penyelidikan atau metode berpikir induksi.
[3] Koento
Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), h. 11.
[4] Beerling
Kwee dan Mooij Van Peursen, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana Yogya, 1986), h. 53.
[5]
Wikipedia, “John Stuart Mill,” Artikel diakses pada 08 Mei 2012 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/John_Stuart_Mill.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar