BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Vienna Circle dan Karl Popper
1. Biografi Vienna Circle (Lingkaran
Wina)
Sejarah lahirnya Vienna Circle (Lingkaran Wina) dimulai
pada tahun 1920-an, yang mana positivisme mengalami perkembangan yang cukup
pesat dengan hadirnya kaum positivis logis yang tergabung dalam Lingkaran Wina
(vienna circle).
Lingkaran Wina (vienna circle) adalah suatu kelompok diskusi
yang terdiri dari para sarjana ilmu pasti dan alam yang berkedudukan di kota
Wina, Austria. Setiap minggu mereka berkumpul untuk mendiskusikan masalah-m asalah
filosofis yang menyangkut ilmu pengetahuan. Kelompok ini didirikan oleh Moritz
Schlick pada tahun 1924, meski sebenarnya pertemuan-pertemuannya sudah
berlangsung sejak 1922, dan berjalan terus hingga 1938.[1]
Anggota-anggotanya antara lain: Moritz Schlick (1882-1936), Hans Hanh
(1880-1934), Otto Neurath (1882-1945), Victor Kraft (1880-1975), Harbert Feigl
(1902) dan Rudolf Carnap (1891-1970). [2]
Diantara para anggota Lingkaran Wina filsuf yang
menarik perhatian adalah Rudolf Carnap. Pengaruhnya atas filsafat dewasa ini
dapat disetarakan dengan Russel dan Wittgenstein. Ia seorang pemikir yang
sistematis dan orisinil. Pandangan yang dikembangkan oleh kelompok ini disebut
neopositivisme, atau sering juga dinamakan positivisme logis. Sebagai penganut
positivisme, secara umum mereka berpendapat bahwa sumber pengetahuan adalah
pengalaman, namun secara khusus dan eksplisit pendirian mereka sebagai berikut[3]:
a. Mereka menolak perbedaan ilmu-ilmu alam
dan ilmu-ilmu sosial
b. Menganggap pernyataan-pernyataan yang tak dapat
diverifikasi secara empiris, seperti estetika, etika, agama, metafisika,
sebagai nonsense.
c. Berusaha menyatukan semua ilmu pengetahuan di
dalam satu bahasa ilmiah yang universal (Unified Science)
d. Memandang tugas filsafat sebagai
analisis atas kata-kata atau pernyataan-pernyataan.
Secara umum bisa dikatakan bahwa akar
sejarah pemikiran positivisme dapat dikembalikan kepada masa Hume (1711-1776)
dan Kant (1724-1804). Hume berpendapat bahwa permasalahan-permasalahan ilmiah
haruslah diuji melalui percobaan. Sementara Kant adalah orang melaksanakan
pendapat Hume ini dengan menyusun Critique of pure reason (Kritik terhadap
pikiran murni). Selain itu Kant juga membuat batasan-batasan wilayah
pengetahuan manusia dan aturan-aturan untuk menghukumi pengetahuan tersebut
dengan menjadikan pengalaman sebagai porosnya.
Pada paruh kedua abad XIX muncullah Auguste Comte
(1798-1857), seorang filosof sosial berkebangsaan Perancis, yang banyak
mengikuti warisan pemikiran Hume dan Kant. Melalui tulisan dan pemikirannya,
Comte bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan
penting yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari
fase teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif. Semasa dengan
Comte ini muncul pula John Stewart Mill (1803-1873)—filosof logika
berkebangsaan Inggris—dan Herbert Spencer (1820-1903) yang dianggap sebagai
tokoh penting positivisme pada pertengahan kedua abad XIX dan dalam waktu yang
bersamaan dianggap sebagai tokoh positivisme terakhir untuk periode pertama (periode
Comte-Mill-Spencer). Periode kedua dari perkembangan positivisme banyak
diwarnai oleh pemikiran dan pendapat filosof Ernst March (1838-1916), yang
dikenal sebagai tokoh Empiriokritizimus atau kadang disebut juga dengan
Machisme. Selain March dikenal pula Avenarius, Person dan Henri Poincare.
2. Biografi Karl Raimund Popper
Karl Raimund Popper dilahirkan di Wina, Austria, pada
28 juli tahun 1902, yang pada waktu itu
diklaim sebagai pusat kebudayaan dunia Barat.[4]
Ayahnya, Dr. Simon Siegmund Carl Popper, seorang Yahudi yang membawanya pada
suasana yang belakangan ia lukiskan sebagai “sangat kebuku-bukuan” (decidedly
bookish). Ayahnya bekerja sebagai pengacara profesional, tapi dia juga tertarik
pada karya-karya sastra Yunani-Romawi Kuno dan filsafat, serta menginformasikan
kepada anaknya minat pada masalah sosial dan politik yang lepas dari dirinya.
Ibunya menanamkan pada ketertarikan pada musik, hingga dia sempat ingin
mengambil karir di bidang ini dan sungguh-sungguh pada awalnya memilih sejarah
music sebagai subjek kedua untuk ujian Ph. D.
Pada masa mudanya ia berkenalan dengan beberapa tokoh
Lingkaran Wina , namun tidak pernah menjadi anggota. Lagipula sepanjang
hidupnya ia merasa enggan, bahkan jengkel bahwa stiap kali anggapan-anggapannya
dihubungkan dengan positivisme logis.[5] Sejak berusia 17 tahun, dia menganut
komunisme, namun hal ini hanya berjalan selama beberapa tahun. Sebab, setelah
ia mendapati para pengikut aliran politik ini menerima begitu saja
doktrin-doktrin yang dengan tidak kritis. Pasca Perang Dunia I ia masuk
Universitas Wina sekaligus bekerja di berbgai bidang.[6] Di sinilah
karir intelektual Popper dimulai. Pada tahun 1935 dan 1936 ia mengajar di
beberapa tempat di Inggris. Pada tahun 1937 ia mengajar di Selandia Baru.[7]
Popper mengatakan bahwa pengetahuan tumbuh lewat
percobaan dan pembuangan kesalahan. Dan terus berkembang sampai karyanya yang
berjudul The Open Society and Its Enemies, dalam karyanya ini Popper
mengungkapkan bahwa arti terbaik “akal” dan “masuk akal” adalah keterbukaan
terhadap kritik – kesediaan untuk dikritik dan keinginan untuk mengkritik diri
sendiri.
Dari sini Popper menarik kesimpulan bahwa menghadapkan
teori-teori pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya adalah
satu-satunya cara yang tepat untuk mengujinya dan juga satu-satunya cara yang
memungkinkan ilmu pengetahuan bisa berkembang terus menerus. Dan dengan adanya
kemungkinan untuk menguji teori tentang ketidakbenarannya berarti teori itu
terbuka untuk di kritik dan ia memunculkan apa yang dinamakan Rasionalisme kritis.
Demikianlah sekelumit kehidupan Karl Raimund Popper yang meninggal dunia pada
tahun 1994.
B. Teori verifikasi dari Vienna Circle (Lingkaran Wina)
verifikasi adalah teori filsafat logis yang mengatakan
bahwa sumber pengetahuan itu berasal dari pengalaman yang kemudian diuji
dengan metode verifikasi yang dibuktikan kebenarannya secara empiris.[8] Apabila pernyataan tersebut dapat
diverifikasi maka pernyataan tersebut bermakna (ilmiah), dan apabila pernyataan
itu tidak dapat diverifikasi maka pernyataan itu tidak bermakna (non ilmiah)
seperti estetika, etika, agama, metafisika. Tujuannya untuk menemukan
teori-teori, generalisasi dan hukum. Contoh verifikasi adalah memverifikasi
bahwa langit berwarna biru, Anda hanya melihat langit. Oleh karena itu, menurut
positivis logis, Anda tahu apa yang saya maksud ketika saya berpendapat bahwa
langit berwarna biru.
Demikian pula, bagaimana untuk memverifikasi bahwa
kursi yang diduduki adalah biru. Yang harus dilakukan adalah datang ke ruangan
tempat di mana menduduki dan melihat kursi yang diduduki. Hal ini, menurut
positivis logis, merupakan kriteria yang perlu dipenuhi agar kalimat menjadi
bermakna jika itu adalah pernyataan fakta tentang dunia.[9]
1. Pendapat Lingkaran Wina (Vienna Circle)
Tentang Filsafat
Filsafat menurut pendapat Lingkaran Wina, tidak
mempunyai suatu wilayah penelitian tersendiri. Realitas empiris dengan segala
aspeknya dipelajari oleh ilmu pengetahuan khusus, sementara suatu realitas yang
non-empiris dan transenden dan transenden tidak mungkin menjadi pengetahuan.
Objek filsafat tradisional seperti ‘Ada yang absolut’ tidak dapat menjadi
wilayah yang digarap oleh pengetahuan kita, karenanya pernyataan-pernyataan
yang menyangkut objek-obje yang demikian itu merupakan pernyataan semu.
Problem-problem kefilsafatan juga hanya semu belaka, karena tidak didasarkan
pada penggunaan bahasa yang bermakna (meaningfull), tetapi menggunakan bahasa
yang penuh emosi dan perasaan (emotional use of language).
Berdasarkan pemahaman di atas, tugas tunggal yang
tertinggal bagi filsafat ialah memeriksa susunan logis bahasa ilmiah , baik
dalam rumusan penyelidikan ilmu alam, maupun dalam logika dan matematika.
Dengan demikian, filsafat ilmu adalah logika ilmu. Filsafat ilmu harus
disusun berdasarkan analogi logika formal. Sebagaimana logika formal selalu
menyibukkan diri dengan problem ‘bentuk’ (forma), dan bukannya dengan ‘isi’
proposisi dan argumen, demikian pula logika ilmu lebih mengurusi bentuk-bentuk
logis pernyataan ilmiah.
Jadi menurut pendapat Lingkaran Wina tentang filsafat
adalah filsafat tidak mempunyai wilayah penelitian sendiri. Dalam kajian
filsafat biasanya yang dibahas adalah pernyataan-pernyataan yang semu dan masalah-masalah
dalam filsafat juga hanya semu belaka. Sehingga dalam pengunggkapan bahasa
menggunakan bahasa yang penuh emosi, bukan menggunakan bahasa yang bermakna
(meaningfull).
C. Teori Falsifikasi oleh karl Popper
Pasca runtuhnya kerajaan Austria, banyak muncul
slogan-slogan dan ide-ide revolusi yang penuh semangat. Ada empat teori yang
paling memukau Popper, yaitu teori relativitas Albert Einstein, teori sejarah
Karl Marx, teori psiko-analisa Sigmund Freud dan teori psikologi individual
Alfred Adler. Teori relativitas Einstein menempati posisi yang paling istimewa
di hatinya, tak lain karena pada tahun 1919, Eddington melakukan sebuah
observasi empiris yang membuktikan kebenaran teori Einstein tersebut.[10]
Bukan kebenaran teori itu sendiri yang membuatnya puas, melainkan keterujian
teori tersebut yang membuatnya penasaran untuk mengkaji lebih lanjut tiga teori
yang lainnya. Dalam kajiannya, ia mendapati bahwa para penganut tiga teori
tersebut menerima teori-teori ini secara tidak kritis. Usaha pengkajian
terhadap ketiga teori ini harus berhadapan dengan kekuatan magis yang seolah
mengatakan, “Bukalah matamu akan sebuah kebenaran baru yang belum pernah
terungkap sebelumnya. Sekali kau melihatnya, maka selamanya kebenaran itu akan
menampakkan dirinya kepadamu. Dan dunia pun tampak sebagai konfirmasi
(verifikasi) bagi kebenarannya.”[11]
Seorang Marxist, misalnya saat membaca surat kabar,
tidak akan memperoleh gambaran apapun selain adanya pertentangan kelas, konsep
sejarah Marxist, dan lain sebagainya yang memang telah mengakar di alam bawah
sadar mereka. Begitu juga yang terjadi pada dua teori lainnya.
Usaha pengkajian mendalam terhadap tiga teori selalu
dihalangi oleh sikap ideologis para pengikutnya yang ingin mempertahankan
‘kebenaran’ teori yang mereka yakini. Walhasil, ketiga teori ini ‘aman’ dari
jamahan para pengkaji yang berusaha untuk mengkaji kelemahan dan kelebihan
teori-teori tersebut. Sejak saat itu, Popper menyatakan diri sebagai
anti-Marxist.
Konteks inilah yang mendorong Popper
membangun logikanya sendiri dalam studi ilmiah, yang terdiri dari dua prinsip
utama yaitu testability dan falsifiability. Dengan prinsip yang
pertama, Popper menyatakan bahwa sebuah pernyataan ilmiah harus bisa diuji
kebenarannya (testable) melalui suatu metode empiris. Pengujian ini
dilakukan untuk melihat kemungkinan apakah pernyataan tersebut bisa dibuktikan
kesalahannya atau tidak (falsifiable).
Dua prinsip ini, yang selanjutnya akan disebut dengan
falsifikasi (falsification),
digunakan Popper sebagai garis pembatas (demarkasi) yang akan membedakan
science dari pseudeo-science.[12] Inilah yang membedakan Popper dari para
pemikir Positivisme Logis yang bermarkas di Wina, di mana verifikasi (verification)
yang mereka ciptakan dijadikan sebagai penentu berarti atau tidaknya sebuah
pernyataan atau teori. Falsifikasi dirancang oleh Popper untuk menjadi solusi
bagi masalah demarkasi.
Bagi Popper, demarkasi yang dibuat oleh kelompok
Postivisme telah membatasi ilmu pengetahuan hanya pada yang ilmiah saja,
sementara ilmu-ilmu sosial (khususnya agama dan mitos-mitos) dianggap tidak
ilmiah, dan demikian tidak bermakna. Dengan falsifikasi Popper memberikan
batasan yang jelas antara pengetahuan ilmiah (science) dan yang
semi-ilmiah (pseudo-science). Tidak seperti Positivisme, Popper masih
memperhitungkan pseudo-sciences sebagai salah satu sumber pengetahuan
dan tetap bermakna dalam lingkaran studi masing-masing. Oleh Karena itu,
pemosisian verifikasi vis a vis falsifikasi yang telah dilakukan angota
Lingkaran Wina telah membuat kontribusi Popper menjadi tidak bermakna. “It
was not I who introduced them into the theory of meaning.”[13]
[1]
http://ahsinelroland.blogspot.com/2012/05/verifikasi-latar-belakang-post.html
[2] Ibid
[3] Ibid
[5] C. Verhaak dan
R. Hariyono Imam, filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1989), h. 157-158
[10] Karl Popper, Conjectures and Refutations; The Growth of
Scientific Knowledge (London: Routledge and Kegan Paul, 1969). hlm. 34.
[11] Ibid, hlm. 35.
[12] Kata pseudo diterjemahkan dengan kata not genuine
(palsu), pretended (berpura-pura/gadungan), dan insincere (bermuka
dua/tidak jujur). Lihat Jonathan Crowther, Oxford Advanced Learner’s
Dictionary of Current English, Oxford University Press, New York, 1995.
hlm. 935.
postingan yang bagus dan menarik, izin copas ya kk rina.....
BalasHapusjgn lupa kunbalnya http://arifeltarim.blogspot.com