A. Pengertian Ilmu Pengetahuan
Ilmu berasal dari kata ‘alima (bahasa
arab) yang berarti tahu, jadi ilmu maupun science secara etimologis berarti
pengetahuan. Science berasal dari kata scio, scire (bahasa latin yang
artinnya tahu). Secara terminologis ilmu dan science punya pengertian yang sama
yaitu pengetahuan[1].
Ilmu
pengetahuan adalah rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang saling
berkaitan dan telah berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan dan
bermanfaat untuk percobaan dan pengamatan lebih lanjut. Ilmu pengetahuan adalah
kegiatan spekulatif. Kesahihan gagasan baru dan makna penemuan eksperimental
baru akan diukur dari hasilnya, yaitu hasil dalam kaitan dengan gagasan lain
dan eksperimen yang lain. Dan demikian, ilmu pengetahuan yidak dipahami sebagai
pencarian kepastian, melainkan sebagai penyelidikan yang berhasil hanya sampai
pada tingkat penyelidik[2]..
Ilmu
pengetahuan juga bisa merupakan upaya menyingkap realitas secara tepat dengan
merumuskan objek material dan objek formal. Upaya penyingkapan realitas dengan
memakai dua perumusan tersebut adakalanya menggunakan rasio dan empiris atau
mensintesikan keduanya sebagai ukuran sebuah kebenaran (kebenaran ilmiah).
Penyingkapan ilmu pengetahuan ini telah banyak mengungkap rahasia alam semesta
dan mengeksploitasinya untuk kepentingan manusia.
Dewasa
ini, ilmu pengetahuan yang bercorak empiristik dengan metode kuantitatif
(matematis) lebih dominan menduduki dialektika kehidupan masyarakat. Hal ini
besar kemungkinan karena banyak dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran
positivistiknya Auguste Comte yang mengajukan tiga tahapan pembebasan ilmu
pengetahuan. Pertama, menurut Auguste Comte ilmu pengetahuan harus
terlepas dari lingkungan teologik yang bersifat mistis. Kedua, ilmu
pengetahuan harus bebas dari lingkungan metafisik yang bersifat abstrak. Ketiga,
ilmu pengetahuan harus menemukan otonominya sendiri dalam lingkungan
positifistik.
Adapun
fungsi-fungsi ilmu pengetahuan, sebagai berikut[3]:
1.
Fungsi deskriptif: menggambarkan ,melukiskan dan
memaparkan suatu
obyek
atau masalah sehingga mudah dipelajari
2.
Fungsi pengembangan: menemukan hasil ilmu yang baru
3.
Fungsi prediksi: meramalkan kejadian yang besar
kemungkinan terjadi sehingga dapat dicari tindakan percegahannya
4.
Fungsi Kontrol: mengendalikan peristiwa yang tidak
dikehendaki.
B. Bentuk
Ilmu Pengetahuan
Menurut
beberapa pakar, ilmu pengetahuan didefinisikan sebagai rangkaian aktifitas
berfikir dan memahami dengan mengikuti prosedur sistematika metode dan memenuhi
langkah-langkahnya. Dengan pola tersebut maka akan dihasilkan sebuah
pengetahuan yang sistematis mengenai fenomena tertentu, dan mencapai kebenaran,
pemahaman serta bisa memberikan penjelasan serta melakukan penerapan.
Secara
garis besar, ilmu pengetahuan dibagi menjadi dua bentuk, yakni ilmu eksakta
dan ilmu humaniora[4].
Ilmu eksakta adalah spesifikasi keilmuan yang menitikberatkan pada hukum sebab
akibat. Penilaian terhadap ilmu-ilmu eksakta cenderung memakai metode observasi
yang digunakan sebagai cara penelitiannya dan mengukur tingkat validitasnya.
Dengan model tersebut, penelitian terhadap ilmu-ilmu eksakta sering mendapatkan
hasil yang objektif. Sedangkan ilmu humaniora merupakan spesifikasi
keilmuan yang membahas sisi kemanusian selain yang bersangkutan dengan biologis
maupun fisiologisnya. Hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan ini lebih
tertitik tekan dalam masalah sosiologis dan psikologisnya.
Menurut
Jujun, cabang atau bentuk ilmu pada dasarnya berkembang dari cabang utama,
yakni filsafat alam yang kemudian berafiliasi di dalamnya ilmu-ilmu alam (the
natural sciences) dan filsafat moral yang kemudian berkembang menjadi
menjadi cabang ilmu-ilmu social (the social sciences). Dari kedua cabang
tersebut, klasifikasi keilmuan menjadi kian tak terbatas. Diperkirakan sampai
sekarang ini, terdapat sekitar 650 cabang keilmuan yang masih belum banyak
dikenal. Kepesatan kemajuan perkembangan ilmu ini demikian cepat, hingga tidak
menutup kemungkinan sepuluh tahun ke depan, klasifikasi keilmuan bisa mencapai
ribuan jumlahnya.
Sekian
banyak jumlah cabang keilmuan tersebut, bermula dari ilmu alam yang membagi
diri menjadi dua kelompok, yakni ilmu alam (the physical sciences) dan
ilmu hidup (hayat/the biological sciences). Ilmu alam ini bertujuan
untuk mempelajari zat yang membentuk alam semesta. Ilmu ini kemudian membentuk
rumpun keilmuan yang lebih spesifik, misalnya sebagai ilmu fisika yang
mempelajari tentang massa dan energi, ilmu kimia yang membahas tentang
substansi zat, ilmu astronomi yang berusaha memahami kondisi benda-benda langit
dan ilmu-ilmu lainnya. Dari rumpun keilmuan ini kemudian membentuk
ranting-ranting baru, seperti kalau dalam fisika ada yang namanya mekanik,
hidrodinamika, bunyi dan seterusnya yang masih banyak lagi ranting-ranting
kecil.
A.
Syarat-syarat ilmu
1. Objektif, Ilmu harus memiliki objek
kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya,
tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau
mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang
dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, sehingga
disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau
subjek penunjang penelitian.
2. Metodis, adalah upaya-upaya yang dilakukan
untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari
kebenaran. Konsekuensinya, harus ada cara tertentu untuk menjamin kepastian
kebenaran. Metodis berasal dari bahasa Yunani “Metodos” yang berarti: cara,
jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya
merujuk pada metode ilmiah.
3. Sistematis.
Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus
terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk
suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , dan mampu
menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang
tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu
yang ketiga.
4. Universal, Kebenaran yang hendak dicapai
adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu).
Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal merupakan syarat ilmu
yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an
(universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya
adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam
ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
5. Religius, segala upaya yang dilakukan dalam mencari
ilmu digunakan dalam upaya mendekatkan diri kepada Sang Pencipta Ilmu, yaitu
Tuhan Yang Maha Esa.
B.
Pengertian Agama
Kata agama secara
testimologi berasal dari bahasa Sansekerta “gam” yang dalam bahasa inggrisnya
sama dengan “go” yang berarti pergi. Jadi agama berarti sesuatu yang tidak
pergi, langgeng, kekal. Yang dimaksud dengan semua itu adalah Tuhan. Sedangkan
agama dalam bahasa inggris berarti “relegion” yang berarti kedatangan kembali,
maksutnya kedatangan wahyu Tuhan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud agama adalah ajaran suci bersifat rohani yang menuntun serta mengatur
kehidupan manusia[6]. Agama memberi petunjuk bagaimana cara mengadakan
hubungan antara manusia denganmanusia, manusia dengan alam, manusia dengan
Tuhan.
C. Tujuan, Guna, dan Fungsi Agama
Pada
dasarnya, manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan yang dapat melahirkan
nilai-nilai guna menopang kehidupannya. Selain kepercayaan itu dianut karena
kebutuhan, dalam waktu bersamaan juga harus merupakan suatu kebenaran. Demikian
juga cara berkepercayaan-pun harus benar. Disebabkan kepercayaan itu diperlukan,
maka dalam dunia nyata ditemukan bentuk-bentuk kepercayaan yang berbeda. Hal
itu dapat menimbulkan kepercayaan yang mungkin semua salah atau salah
satu diantaranya benar. Adapun salah satu kepercayaan yang dapat diakui
kebenaraannya adalah kepercayaan terhadap agama.
Agama sebagai sistem kepercayaan (iman),
memiliki dua pengertian:
1. Kepercayaan (iman) sebagai institusi,
yaitu iman yang merupakan bagian (paling pokok) dari agama sendiri, yang
berposisi sebagai bentuk kepercayaan yang tertinggi yang diakui kebenarannya.
Seperti rukun iman dalam islam;
2. Kepercayaan (iman) sebagai sikap jiwa, sikap
jiwa mempercayai dan menerima sesuatu sebagai benar, yaitu sikap jiwa sami’na
wa at}a’na (kami mendengar dan mematuhi), serta mematuhi
firma ilahi dengan sepenuh kedirian, memusatkan segala pengabdian hanya
kepada-Nya, menyerahkan diri, hidup dan mati semata-mata untuk-Nya.
Eksistensi
agama selain sebagai sistem kepercayaan yang mengharuskan adanya kebenaran,
juga sebagai tindakan praktis terhadap aplikasi kepercayaan (iman) yang telah
diakui kebenaraanya. Dalam hal ini Ibnu Sina memiliki dua aspek missi, yaitu
missi teoritis dan praktis. Missi teoritis berfungsi
mengarahkan jiwa manusia menuju kebahagiaan abadi dengan mengajarkan ajaran
dasar keimanan terhadap eksistensi Tuhan, realitas wahyu, dan kenabian serta
kehidupan sesudah mati. Adapun missi praktis mengajarkan
aspek-aspek praktis agama sebagai tindakan ritual untuk dilaksanakan oleh
seseorang yang beriman.
D.
Hubungan Ilmu
Pengetahuan dan Agama
Dalam
pandangan saintis, agama dan ilmu pengetahuan mempunyai perbedaan. Bidang
kajian agama adalah metafisik, sedangkan bidang kajian sains / ilmu pengetahuan
adalah alam empiris. Sumber agama dari tuhan, sedangkan ilmu pengetahuan dari
alam.
Dari
segi tujuan, agama berfungsi sebagai pembimbing umat manusia agar hidup tenang
dan bahagia didunia dan di akhirat. Adapun sains / ilmu pengetahuan berfungsi sebagai
sarana mempermudah aktifitas manusia di dunia. Kebahagiaan di dunia, menurut
agama adalah persyaratan untuk mencapai kebahagaian di akhirat.
Menurut
Amstal, bahwa agama cenderung mengedepankan moralitas dan menjaga tradisi yang
sudah mapan, eksklusif dan subjektif. Sementara ilmu pengetahuan selalu mencari
yang baru, tidak terikat dengan etika, progesif, bersifat inklusif, dan
objektif. Meskipun keduanya memiliki perbedaan, juga memiliki kesamaan, yaitu
bertujuan memberi ketenangan. Agama memberikan ketenangan dari segi batin
karena ada janji kehidupan setelah mati, Sedangkan ilmu memberi ketenangan dan
sekaligus kemudahan bagi kehidupan di dunia. Misalnya, Tsunami dalam Konteks
agama adalah cobaan Tuhan dan sekaligus rancangan-Nya tentang alam secara
keseluruhan. Oleh karena itu, manusia harus bersabar atas cobaan tersebut dan
mencari hikmah yang terkandung dibalik Tsunami. Adapun menurut ilmu
pengetahuan, Tsunami terjadi akibat pergeseran lempengan bumi, oleh karena itu
para ilmuwan harus mencari ilmu pengetahuan untuk mendeteksi kapan tsunami akan
terjadi dan bahkan kalau perlu mencari cara mengatasinya.
Karekteristik
agama dan ilmu pengetahuan tidak selau harus dilihat dalam Konteks yang
berseberangan, tetapi juga perlu dipikirkan bagaimana keduanya bersinergi dalam
membantu kehidupan manusia yang lebih layak. Osman Bakar mengatakan bahwa
epistemology, metafisika, teologi dan psikologi memiliki peran penting dalam
mengembangkan intelektual untuk merumuskan berbagai hubungan konseptual agama
dan ilmu pengetahuan. Peran utamanya adalah memberikan rumusan-rumusan
konseptual kepada para ilmuan secara rasional yang bisa dibenarkan dengan
ilmiah dan dapat dipertanggung jawabkan untuk digunakan sebagai premis-premis
dari berbagai jenis sains. Misalnya kosmologi, dengan adanya kosmologi dapat
membantu meringankan dan mengkonseptualkan dasar-dasar ilmu pengetahuan seperti
fisika dan biologi.
Ilmu
pengetahuan yang dipahami dalam arti pendek sebagai pengetahuan objektif,
tersusun, dan teratur. Ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari agama.
Sebut saja al-Quran, al-Quran merupakan sumber intelektualitas dan
spiritualitas. Ia merupakan sumber rujukan bagi agama dan segala pengembangan
ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber utama inspirasi pandangan orang islam tentang
keterpaduan ilmu pengetahuan dan agama. Manusia memperoleh pengetahuan dari
berbagai sumber dan melalui banyak cara dan jalan, tetapi semua pengetahuan
pada akhirnya berasal dari Tuhan. Dalam pandangan al-Quran, pengetahuan tentang
benda-benda menjadi mungkin karena Tuhan memberikan fasilitas yang dibutuhkan
untuk mengetahui. Para ahli filsafat dan ilmuan muslim berkeyakinan bahwa dalam
tindakan berpikir dan mengetahui, akal manusia mendapatkan pencerahan dari
Tuhan Yang Maha mengetahui sesuatu yang belum diketahui dan akan diketahui
dengan lantaran model dan metode bagaimana memperolehnya.
Al-Quran
bukanlah kitab ilmu pengetahuan, tetapi ia memberikan pengetahuan tentang
prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang selalu dihubungkan dengan pengetahuan
metafisik dan spiritual. Panggilan al-Quran untuk “membaca dengan Nama Tuhanmu”
telah dipahami dengan pengertian bahwa pencarian pengetahuan, termasuk
didalamnya pengetahuan ilmiah yang didasarkan pada pengetahuan tentang realitas
Tuhan. Hal ini dipertegas oleh Ibnu Sina yang menyatakan, Ilmu pengetahuan
disebut ilmu pengetahuan yang sejati jika menghubungkan pengetahuan tentang
dunia dengan pengetahuan Prinsip Tuhan.
Agama
dan ilmu pengetahuan memang berbeda metode yang digunakan, karena masing-masing
berbeda fungsinya. Dalam ilmu pengetahuan kita berusaha menemukan makna
pengalaman secara lahiriyah, sedangkan dalam agama lebih menekankan pengalaman
yang bersifat ruhaniah sehingga menumbuhkan kesadaran dan pengertian keagamaan
yang mendalam. Dalam beberapa hal, ini mungkin dapat dideskripsikan oleh ilmu
pengetahuan kita, tetapi tidak dapat diukur dan dinyatakan dengan rumus-rumus
ilmu pasti. Sekalipun demikian, ada satu hal yang sudah jelas, bahwa kehidupan
jasmani dan rohani tetap dikuasai oleh satu tata aturan hukum yang universal.
Ini berarti, baik agama maupun ilmu pengetahuan, yaitu Allah. Keduanya saling
melengkapi dan membantu manusia dalam bidangnya masing-masing dengan caranya
sendiri. Fungsi agama dan ilmu pengetahuan dapat dikiaskan seperti hubungan mata
dan mikroskop. Mikroskop telah membantu indera mata kita yang terbatas,
sehingga dapat melihat bakteri-bakteri yang terlalu kecil untuk dilihat oleh
mata telanjang. Demikian pula benda langit yang sangat kecil dilihat dengan
mata telanjang, ini bisa dibantu dengan teleskop karena terlalu jauh. Demikian
halnya dengan wahyu Ilahi, telah membantu akal untuk memecahkan masalah-masalah
rumit yang diamati oleh indera. Jika ini hanya dilakukan oleh akal maka akan
menyesatkan manusia.
[1] Suparlan Suhartono, filsafat ilmu
pengetahuan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2005), h.29
[2] C.A Qadir, ilmu pengetahuan dan
Metodenya, (Jakakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1995),h.39
[3] Ida Made Sugita, “Pengertian Filsafat Ilmu
dan Agama,”artikel diakses pada Tanggal 1 Desembar 2011 dari http://www.scribd.com/A.Pengertian-Filsafat-Ilmu pengetahuan-dan agama.html
[4] Endang Saifudin Anshari, Ilmu Filsafat
dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1987),h.169
[5] Elvinaro Ardianto, Filsafat Komunikasi,
(Bandung: Simbiosa Rekkatama Media, 2007), h.23
[6] Endang Anshori, Ilmu Filsafat dan Agama
(Surabaya: Bina Ilmu, 1979), h.10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar