Senin, 29 April 2013

ILMU PENGETAHUAN DAN AGAMA


A. Pengertian  Ilmu Pengetahuan
 Ilmu berasal dari kata ‘alima (bahasa arab) yang berarti tahu, jadi ilmu maupun science secara etimologis berarti pengetahuan. Science berasal dari kata scio, scire (bahasa latin yang artinnya tahu). Secara terminologis ilmu dan science punya pengertian yang sama yaitu pengetahuan[1].

Ilmu pengetahuan adalah rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang saling berkaitan dan telah berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan dan bermanfaat untuk percobaan dan pengamatan lebih lanjut. Ilmu pengetahuan adalah kegiatan spekulatif. Kesahihan gagasan baru dan makna penemuan eksperimental baru akan diukur dari hasilnya, yaitu hasil dalam kaitan dengan gagasan lain dan eksperimen yang lain. Dan demikian, ilmu pengetahuan yidak dipahami sebagai pencarian kepastian, melainkan sebagai penyelidikan yang berhasil hanya sampai pada tingkat penyelidik[2]..
Ilmu pengetahuan juga bisa merupakan upaya menyingkap realitas secara tepat dengan merumuskan objek material dan objek formal. Upaya penyingkapan realitas dengan memakai dua perumusan tersebut adakalanya menggunakan rasio dan empiris atau mensintesikan keduanya sebagai ukuran sebuah kebenaran (kebenaran ilmiah). Penyingkapan ilmu pengetahuan ini telah banyak mengungkap rahasia alam semesta dan mengeksploitasinya untuk kepentingan manusia.
Dewasa ini, ilmu pengetahuan yang bercorak empiristik dengan metode kuantitatif (matematis) lebih dominan menduduki dialektika kehidupan masyarakat. Hal ini besar kemungkinan karena banyak dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran positivistiknya Auguste Comte yang mengajukan tiga tahapan pembebasan ilmu pengetahuan. Pertama, menurut Auguste Comte ilmu pengetahuan harus terlepas dari lingkungan teologik yang bersifat mistis. Kedua, ilmu pengetahuan harus bebas dari lingkungan metafisik yang bersifat abstrak. Ketiga, ilmu pengetahuan harus menemukan otonominya sendiri dalam lingkungan positifistik.
Adapun fungsi-fungsi ilmu pengetahuan, sebagai berikut[3]:
1.            Fungsi deskriptif: menggambarkan ,melukiskan dan memaparkan suatu
obyek atau masalah sehingga mudah dipelajari
2.              Fungsi pengembangan: menemukan hasil ilmu yang baru
3.              Fungsi prediksi: meramalkan kejadian yang besar kemungkinan terjadi sehingga dapat dicari tindakan percegahannya
4.              Fungsi Kontrol: mengendalikan peristiwa yang tidak dikehendaki.
B.     Bentuk Ilmu Pengetahuan
Menurut beberapa pakar, ilmu pengetahuan didefinisikan sebagai rangkaian aktifitas berfikir dan memahami dengan mengikuti prosedur sistematika metode dan memenuhi langkah-langkahnya. Dengan pola tersebut maka akan dihasilkan sebuah pengetahuan yang sistematis mengenai fenomena tertentu, dan mencapai kebenaran, pemahaman serta bisa memberikan penjelasan serta melakukan penerapan.
Secara garis besar, ilmu pengetahuan dibagi menjadi dua bentuk, yakni ilmu eksakta dan ilmu humaniora[4]. Ilmu eksakta adalah spesifikasi keilmuan yang menitikberatkan pada hukum sebab akibat. Penilaian terhadap ilmu-ilmu eksakta cenderung memakai metode observasi yang digunakan sebagai cara penelitiannya dan mengukur tingkat validitasnya. Dengan model tersebut, penelitian terhadap ilmu-ilmu eksakta sering mendapatkan hasil yang objektif. Sedangkan ilmu humaniora merupakan spesifikasi keilmuan yang membahas sisi kemanusian selain yang bersangkutan dengan biologis maupun fisiologisnya. Hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan ini lebih tertitik tekan dalam masalah sosiologis dan psikologisnya.
Menurut Jujun, cabang atau bentuk ilmu pada dasarnya berkembang dari cabang utama, yakni filsafat alam yang kemudian berafiliasi di dalamnya ilmu-ilmu alam (the natural sciences) dan filsafat moral yang kemudian berkembang menjadi menjadi cabang ilmu-ilmu social (the social sciences). Dari kedua cabang tersebut, klasifikasi keilmuan menjadi kian tak terbatas. Diperkirakan sampai sekarang ini, terdapat sekitar 650 cabang keilmuan yang masih belum banyak dikenal. Kepesatan kemajuan perkembangan ilmu ini demikian cepat, hingga tidak menutup kemungkinan sepuluh tahun ke depan, klasifikasi keilmuan bisa mencapai ribuan jumlahnya.
Sekian banyak jumlah cabang keilmuan tersebut, bermula dari ilmu alam yang membagi diri menjadi dua kelompok, yakni ilmu alam (the physical sciences) dan ilmu hidup (hayat/the biological sciences). Ilmu alam ini bertujuan untuk mempelajari zat yang membentuk alam semesta. Ilmu ini kemudian membentuk rumpun keilmuan yang lebih spesifik, misalnya sebagai ilmu fisika yang mempelajari tentang massa dan energi, ilmu kimia yang membahas tentang substansi zat, ilmu astronomi yang berusaha memahami kondisi benda-benda langit dan ilmu-ilmu lainnya. Dari rumpun keilmuan ini kemudian membentuk ranting-ranting baru, seperti kalau dalam fisika ada yang namanya mekanik, hidrodinamika, bunyi dan seterusnya yang masih banyak lagi ranting-ranting kecil.

A.    Syarat-syarat ilmu

Ada lima syarat ilmu pengetahuan, yaitu[5]:
1.       Objektif,  Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, sehingga disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
2.        Metodis, adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari bahasa Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
3.        Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
4.         Universal, Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
5.  Religius, segala upaya yang dilakukan dalam mencari ilmu digunakan dalam upaya mendekatkan diri kepada Sang Pencipta Ilmu, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

B.            Pengertian Agama
Kata agama secara testimologi berasal dari bahasa Sansekerta “gam” yang dalam bahasa inggrisnya sama dengan “go” yang berarti pergi. Jadi agama berarti sesuatu yang tidak pergi, langgeng, kekal. Yang dimaksud dengan semua itu adalah Tuhan. Sedangkan agama dalam bahasa inggris berarti “relegion” yang berarti kedatangan kembali, maksutnya kedatangan wahyu Tuhan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud agama adalah ajaran suci bersifat rohani yang menuntun serta mengatur kehidupan manusia[6]. Agama memberi petunjuk bagaimana cara mengadakan hubungan antara manusia denganmanusia, manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan.
C.    Tujuan, Guna, dan Fungsi Agama
Pada dasarnya, manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan yang dapat melahirkan nilai-nilai guna menopang kehidupannya. Selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan, dalam waktu bersamaan juga harus merupakan suatu kebenaran. Demikian juga cara berkepercayaan-pun harus benar. Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam dunia nyata ditemukan bentuk-bentuk kepercayaan yang berbeda. Hal itu dapat menimbulkan  kepercayaan yang mungkin semua salah atau salah satu diantaranya benar. Adapun salah satu kepercayaan yang dapat diakui kebenaraannya adalah kepercayaan terhadap agama.
Agama sebagai sistem kepercayaan (iman), memiliki dua pengertian:
1.  Kepercayaan  (iman) sebagai institusi, yaitu iman yang merupakan bagian (paling pokok) dari agama sendiri, yang berposisi sebagai bentuk kepercayaan yang tertinggi yang diakui kebenarannya. Seperti rukun iman dalam islam;
2. Kepercayaan (iman) sebagai sikap jiwa, sikap jiwa mempercayai dan menerima sesuatu sebagai benar, yaitu sikap jiwa sami’na wa at}a’na  (kami mendengar dan mematuhi), serta mematuhi firma ilahi dengan sepenuh kedirian, memusatkan segala pengabdian hanya kepada-Nya, menyerahkan diri, hidup dan mati semata-mata untuk-Nya.
Eksistensi agama selain sebagai sistem kepercayaan yang mengharuskan adanya kebenaran, juga sebagai tindakan praktis terhadap aplikasi kepercayaan (iman) yang telah diakui kebenaraanya. Dalam hal ini Ibnu Sina memiliki dua aspek missi, yaitu missi teoritis dan praktis. Missi teoritis berfungsi mengarahkan jiwa manusia menuju kebahagiaan abadi dengan mengajarkan ajaran dasar keimanan terhadap eksistensi Tuhan, realitas wahyu, dan kenabian serta kehidupan sesudah mati. Adapun missi praktis mengajarkan aspek-aspek praktis agama sebagai tindakan ritual untuk dilaksanakan oleh seseorang yang beriman.

D.           Hubungan Ilmu Pengetahuan dan Agama
Dalam pandangan saintis, agama dan ilmu pengetahuan mempunyai perbedaan. Bidang kajian agama adalah metafisik, sedangkan bidang kajian sains / ilmu pengetahuan adalah alam empiris. Sumber agama dari tuhan, sedangkan ilmu pengetahuan dari alam.
Dari segi tujuan, agama berfungsi sebagai pembimbing umat manusia agar hidup tenang dan bahagia didunia dan di akhirat. Adapun sains / ilmu pengetahuan berfungsi sebagai sarana mempermudah aktifitas manusia di dunia. Kebahagiaan di dunia, menurut agama adalah persyaratan untuk mencapai kebahagaian di akhirat.
Menurut Amstal, bahwa agama cenderung mengedepankan moralitas dan menjaga tradisi yang sudah mapan, eksklusif dan subjektif. Sementara ilmu pengetahuan selalu mencari yang baru, tidak terikat dengan etika, progesif, bersifat inklusif, dan objektif. Meskipun keduanya memiliki perbedaan, juga memiliki kesamaan, yaitu bertujuan memberi ketenangan. Agama memberikan ketenangan dari segi batin karena ada janji kehidupan setelah mati, Sedangkan ilmu memberi ketenangan dan sekaligus kemudahan bagi kehidupan di dunia. Misalnya, Tsunami dalam Konteks agama adalah cobaan Tuhan dan sekaligus rancangan-Nya tentang alam secara keseluruhan. Oleh karena itu, manusia harus bersabar atas cobaan tersebut dan mencari hikmah yang terkandung dibalik Tsunami. Adapun menurut ilmu pengetahuan, Tsunami terjadi akibat pergeseran lempengan bumi, oleh karena itu para ilmuwan harus mencari ilmu pengetahuan untuk mendeteksi kapan tsunami akan terjadi dan bahkan kalau perlu mencari cara mengatasinya.
Karekteristik agama dan ilmu pengetahuan tidak selau harus dilihat dalam Konteks yang berseberangan, tetapi juga perlu dipikirkan bagaimana keduanya bersinergi dalam membantu kehidupan manusia yang lebih layak. Osman Bakar mengatakan bahwa epistemology, metafisika, teologi dan psikologi memiliki peran penting dalam mengembangkan intelektual untuk merumuskan berbagai hubungan konseptual agama dan ilmu pengetahuan. Peran utamanya adalah memberikan rumusan-rumusan konseptual kepada para ilmuan secara rasional yang bisa dibenarkan dengan ilmiah dan dapat dipertanggung jawabkan untuk digunakan sebagai premis-premis dari berbagai jenis sains. Misalnya kosmologi, dengan adanya kosmologi dapat membantu meringankan dan mengkonseptualkan dasar-dasar ilmu pengetahuan seperti fisika dan biologi.
Ilmu pengetahuan yang dipahami dalam arti pendek sebagai pengetahuan objektif, tersusun, dan teratur. Ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari agama. Sebut saja al-Quran, al-Quran merupakan sumber intelektualitas dan spiritualitas. Ia merupakan sumber rujukan bagi agama dan segala pengembangan ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber utama inspirasi pandangan orang islam tentang keterpaduan ilmu pengetahuan dan agama. Manusia memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber dan melalui banyak cara dan jalan, tetapi semua pengetahuan pada akhirnya berasal dari Tuhan. Dalam pandangan al-Quran, pengetahuan tentang benda-benda menjadi mungkin karena Tuhan memberikan fasilitas yang dibutuhkan untuk mengetahui. Para ahli filsafat dan ilmuan muslim berkeyakinan bahwa dalam tindakan berpikir dan mengetahui, akal manusia mendapatkan pencerahan dari Tuhan Yang Maha mengetahui sesuatu yang belum diketahui dan akan diketahui dengan lantaran model dan metode bagaimana memperolehnya.
Al-Quran bukanlah kitab ilmu pengetahuan, tetapi ia memberikan pengetahuan tentang prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang selalu dihubungkan dengan pengetahuan metafisik dan spiritual. Panggilan al-Quran untuk “membaca dengan Nama Tuhanmu” telah dipahami dengan pengertian bahwa pencarian pengetahuan, termasuk didalamnya pengetahuan ilmiah yang didasarkan pada pengetahuan tentang realitas Tuhan. Hal ini dipertegas oleh Ibnu Sina yang menyatakan, Ilmu pengetahuan disebut ilmu pengetahuan yang sejati jika menghubungkan pengetahuan tentang dunia dengan pengetahuan Prinsip Tuhan.
Agama dan ilmu pengetahuan memang berbeda metode yang digunakan, karena masing-masing berbeda fungsinya. Dalam ilmu pengetahuan kita berusaha menemukan makna pengalaman secara lahiriyah, sedangkan dalam agama lebih menekankan pengalaman yang bersifat ruhaniah sehingga menumbuhkan kesadaran dan pengertian keagamaan yang mendalam. Dalam beberapa hal, ini mungkin dapat dideskripsikan oleh ilmu pengetahuan kita, tetapi tidak dapat diukur dan dinyatakan dengan rumus-rumus ilmu pasti. Sekalipun demikian, ada satu hal yang sudah jelas, bahwa kehidupan jasmani dan rohani tetap dikuasai oleh satu tata aturan hukum yang universal. Ini berarti, baik agama maupun ilmu pengetahuan, yaitu Allah. Keduanya saling melengkapi dan membantu manusia dalam bidangnya masing-masing dengan caranya sendiri. Fungsi agama dan ilmu pengetahuan dapat dikiaskan seperti hubungan mata dan mikroskop. Mikroskop telah membantu indera mata kita yang terbatas, sehingga dapat melihat bakteri-bakteri yang terlalu kecil untuk dilihat oleh mata telanjang. Demikian pula benda langit yang sangat kecil dilihat dengan mata telanjang, ini bisa dibantu dengan teleskop karena terlalu jauh. Demikian halnya dengan wahyu Ilahi, telah membantu akal untuk memecahkan masalah-masalah rumit yang diamati oleh indera. Jika ini hanya dilakukan oleh akal maka akan menyesatkan manusia.


[1] Suparlan Suhartono, filsafat ilmu pengetahuan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2005), h.29
[2] C.A Qadir, ilmu pengetahuan dan Metodenya, (Jakakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1995),h.39     
[3] Ida Made Sugita, “Pengertian Filsafat Ilmu dan Agama,”artikel diakses pada Tanggal 1 Desembar 2011 dari http://www.scribd.com/A.Pengertian-Filsafat-Ilmu pengetahuan-dan agama.html
[4] Endang Saifudin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1987),h.169    
[5] Elvinaro Ardianto, Filsafat Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekkatama Media, 2007), h.23
[6] Endang Anshori, Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), h.10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar