BAB II
PEMBAHASAN
A.
Positivisme
Dalam paradigma ilmu, ilmuwan
telah mengembangkan sejumlah perangkat keyakinan dasar yang mereka gunakan
dalam mengungkapkan hakikat ilmu yang sebenarnya dan bagaimana cara untuk
mendapatkannya.
Tradisi
pengungkapan ilmu ini telah ada sejak adanya manusia, namun secara sistematis
dimulai sejak abad ke-17, ketika Descartes (1596-1650) dan para penerusnya
mengembangkan cara pandang positivisme, yang memperoleh sukses besar
sebagiamana terlihat pengaruhnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dewasa ini. Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas
pertanyaan fundamental proses keilmuan manusia, yakni bagaimana, apa, dan untuk
apa. Tiga pertanyaan dasar itu kemudian dirumuskan menjadi beberapa dimensi.
a. Dimensi ontologis, pertanyaan yang harus dijawab
oleh seorang ilmuwan adalah: Apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat
diketahui (knowable), atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas (reality).
Dengan demikian dimensi yang dipertanyakan adalah hal
yang nyata (what is nature of reality?).
b. Dimensi epistemologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan
adalah: Apa sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu (inquirer)
dan objek yang ditemukan (know atau knowable)?
c. Dimensi axiologis, yang dipermasalahkan adalah peran nilai-nilai dalam
suatu kegiatan penelitian.
d. Dimensi retorik yang dipermasalahkan adalah bahasa yang digunakan
dalam penelitian.
e. Dimensi metodologis, seorang ilmuwan harus menjawab pertanyaan: bagaimana
cara atau metodologi yang dipakai seseorang dalam menemukan kebenaran suatu
ilmu pengetahuan? Jawaban terhadap kelima dimensi pertanyaan ini, akan
menemukan posisi paradigma ilmu untuk menentukan paradigma apa yang akan
dikembangkan seseorang dalam kegiatan keilmuan.
Positivisme merupakan
paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu
pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme
yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan
sesuai dengan hukum alam (natural laws). Upaya penelitian, dalam hal ini
adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana realitas
tersebut senyatanya berjalan.
Positivisme muncul pada
abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah karyanya yang
terdiri dari enam jilid dengan judul The Course of Positive Philosophy
(1830-1842).
Menurut Emile Durkheim
(1982:59) objek studi sosiologi adalah fakta sosial (social-fact): Fakta sosial yang dimaksud meliputi: bahasa, sistem hukum, sistem
politik, pendidikan, dan lain-lain. Sekalipun fakta sosial berasal dari luar
kesadaran individu, tetapi dalam penelitian positivisme, informasi kebenaran
itu ditanyakan oleh penelitian kepada individu yang dijadikan responden
penelitian. Untuk mencapai kebenaran ini, maka seorang pencari kebenaran
(penelitian) harus menanyakan langsung kepada objek yang
diteliti, dan objek dapat memberikan jawaban langsung kepada penelitian yang
bersangkutan. Hubungan epistemologi ini, harus menempatkan si peneliti di
belakang layar untuk mengobservasi hakekat realitas apa adanya untuk menjaga
objektifitas temuan. Karena itu secara metodologis, seorang penelitian
menggunakan metodologi eksperimen-empirik untuk menjamin agar temuan yang
diperoleh betul-betul objektif dalam menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
Mereka mencari ketepatan yang tinggi, pengukuran yang akurat dan penelitian
objektif, juga mereka menguji hipotesis dengan jalan melakukan analisis terhadap
bilangan-bilangan yang berasal dari pengukuran.
Di bawah naungan payung
positivisme, ditetapkan bahwa objek ilmu pengetahuan maupun
pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (Scientific Proporsition)
haruslah memenuhi syarat-syarat (Kerlinger, 1973) sebagai berikut: dapat
di/ter-amati (observable), dapat di/ter-ulang (repeatable), dapat
di/ter-ukur (measurable), dapat di/ter-uji (testable), dan dapat
di/ter-ramalkan (predictable).[1]
Paradigma positivisme
telah menjadi pegangan para ilmuwan untuk mengungkapkan kebenaran realitas. Kebenaran
yang dianut positivisme dalam mencari kebenaran adalah teori korespondensi.
Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan adalah benar jika
terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan tersebut. Atau dengan
kata lain, suatu pernyataan dianggap benar apabila materi yang terkandung dalam
pernyataan tersebut bersesuaian (korespodensi) dengan obyek faktual yang
ditunjuk oleh pernyataan tersebut.[2]
Setelah positivisme ini
berjasa dalam waktu yang cukup lama (± 400 tahun), kemudian berkembang sejumlah
‘aliran’ paradigma baru yang menjadi landasan pengembangan ilmu dalam berbagai
bidang kehidupan.
B.
Postpositivisme
Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki
kelemahan-kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan
langsung terhadap objek yang diteliti.
Secara ontologis aliran ini bersifat critical
realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai
dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat
dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara
metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi
harus menggunakan metode triangulation
yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
Secara epistemologis, hubungan antara pengamat atau
peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan,
seperti yang diusulkan oleh aliran positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal
yang tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di
belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara langsung.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang postpositivisme
empat pertanyaan dasar berikut, akan memberikan gambaran tentang posisi aliran
ini dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan.
Pertama, Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara
paradigma-paradigma ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari
positivisme yang posisinya lebih lemah? Atau karena aliran ini datang setelah
positivisme sehingga dinamakan postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam
bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah
satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme lebih
mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui
berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai
objektifitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai
cara.
Kedua, Bukankah postpositivisme bergantung pada
paradigma realisme yang sudah sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya
benar. Pandangan awal aliran positivisme (old-positivism) adalah anti
realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme modern bukanlah
kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan perkembangan
akhir dari pandangan postpositivisme.
Ketiga, banyak postpositivisme yang berpengaruh
yang merupakan penganut realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak
mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple realities) dan setiap
masyarakat membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar karena
relativisme tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang
pasti postpositivisme mengakui bahwa
paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata. Selanjutnya,
relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis hanya
berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar.
Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal
sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya.
Keempat,
karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang
benar-benar pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria objektivitas? Pandangan
ini sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator kebenaran
yang melandasi semua penyelidikan. Jika kita menolak prinsip ini, maka tidak
ada yang namanya penyelidikan. Yang ingin ditekankan di sini bahwa objektivitas
tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.[3]
[1] Muhammad
Muslih, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Belukar ), h. 30-32
[2] “Prespektif
Positivisme Postpositivisme”, artikel diakses pada 8 April 2012 http://catatan-anakfikom.blogspot.com/2012/03/
[3] Muhammad
Muslih, Filsafat Ilmu (Yogyakarta:Belukar ), h. 32-34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar