Abdullah
bin Mubarok (sosok sufi terkemuka dalam masanya) merasa gembira tak terkira.
Beliau baru saja menyelesaikan ritual Haji yang sangat melelahkan di Mekkah.
Dengan begitu, ia telah menunaikan rukun Islam yang kelima dengan sempurna.
Sesuai dengan rukun dan sunnah Haji yang diajarkan Baginda Nabi SAW. Kini rasa
puas tercermin di wajahnya. Beliau merasa tidak punya tenggungan lagi yang
mesti dituntaskan. Beliau pun dapat tidur dengan pulas untuk melepaskan rasa
letihnya.
“berapa
orang yang melaksanakan ibadah Haji pada tahun ini?” tanya salah satu malaikat.
“Enam
Ratus ribu orang “ jawab temannya.
“Berapa
orang yang hajinya diterima antara mereka?” tanyanya lagi.
“Tidak
seorangpun!”
Mendengar
obrolan dua malaikat itu badan Abdullah bin Mubarok menjadi gemetar. Betapa
tidak? Beliau sudah lelah melakukan semua prosesi Ibadah Haji, namun nyatanya
tidak diterima oleh Allah SWT. Beliau juga memikirkan nasib kaum muslimin yang
datang berhaji dari negeri-negeri jauh. “Apa maksud Kalian?
Orang-orang itu
datang dari pelosok negeri yang jauh dengan susah payah. Mereka melintasi
lembah, gunung dan padang pasir yang menghampar luas. Benarkah upaya mereka
semua sia-sia?” protes Abdullah bin Mubarok kepada dua malaikat.
“sebetulnya
ada satu orang yang hajinya mabrur,” tukas malaikat. “Ia adalah tukang sepatu
yang tinggal di kota Damaskus bernama Ali bin Muwaffaq. Ia tidak datang ke
Baitullah (Makkah), namun hajinya diterima dan segala dosanya dihapus oleh
Allah SWT. Bahkan berkat orang itu beribadah seluruh Jama’ah haji pada tahun
ini diterima oleh Allah.”
Setelah
mendengarkan penjelasan malaikat tadi, Abdullah bin Mubarok spontan terbangun
dari tidurnya. Hatinya resah mengingat mimpi yang baru saja dialaminya.
Pikirannya pusing tujuh keliling. Ia tak mampu mencerna logika yang disampaikan
dua malaikat dalam mimpinya tadi. Bagaimana mungkin Haji orang yang tidak hadir
di Baitullah bisa diterima, sementara ratusan ribu orang yang berdesak-desakan
di sana tidak?
Setelah
lama termenung, akhirnya Abdullah bin Mubarok menemukan jawaban. “aku harus
pergi ke Damaskus untuk mencari tempat tinggal Ali bin Muwaffaq”. Gumamnya
dalam hati. Beliaupun bertolak ke Damaskus dengan berjalan kaki. Sesampainya
disana, ternyata tidak sulit menemukan rumah Ali bin Muwaffaq si tukang sepatu.
Kebetulan sosok yang dicari-cari itu sedang berada di rumah, Ali bin Muwaffaq
mempersilahkan Ulama’ besar itu untuk singgah di rumahnya yang sederhana.
Kediaman
Ali bin Muwaffaq terbilang kecil dan perabotannya tidak ada yang berharga.
Kursinya terbuat dari kayu yang harganya sangat murah, demikian pula meja dan
pintu rumahnya. Profesi Ali bin Muwaffaq sebagai tukang sepatu memang membuat
hidupnya serba pas-pasan. Setelah beberapa lama mengamati pemandangan di
sekelilingnya yang serba memprihatinkan, Abdulla bin Mubarok pun mengungkapkan
maksud kedatangannya. Beliau menceritakan ihwal mimpinya bertemu dua malaikat
selama menempuh perjalanan Haji.
Mendengar
kisah itu, Ali bin Muwaffiq yang bukan kepalang. “ Allahu Akbar!” begitu
teriaknya dan ia pun jatuh pingsan lantaran saking senangnya. Tak lama kemudian
ia siuman dan Abdullah bin Mubarok memintanya untuk menceritakan sebab-musabab
dirinya menjadi Haji mabrur. Setelah terdiam sejenak, Ali kemudian mulai
bertutur, selama tiga puluh tahun lamanya aku bercita-cita hendak menunaikan
Ibadh Haji. Dari pekerjaan membuat sepatu ini, aku berhasil mengumpulkan uang
sebanyak tiga ratus lima puluh dirham yang akan kupakai bekal pergi ke Makkah.
Pada suatu hari terciumlah bau makanan sebelah. Istriku yang sedang ngidam hamil
memohon kepadaku agar pergi ke rumah sebelah dan mengutarakan maksud
kedatanganku.”
“mendengarkan
permintaanku, tetanggaku itu malah menangis menjadi-jadi hingga aku menjadi
prihatin. Setelah berhenti kepadaku, ‘ sebenarnya sudah tiga hari lamanya
anak-anakku tidak makan hingga tergeletak mati. Aku pun menyayat sekarat daging
keledai itu dan memaksanya. Jadi makanan ini halal untuk kamu dan haram bagi
anda!”
“Aku
sangat sedih mengettahui kondisi tetanggaku itu. Segera kuambil tabunganku yang
jumlahnya tiga ratus lima puluh dirham dan kuberikansemua kepadanya. Aku
berpesan agar uang itu digunakan untuk keperluan anak-anaknya. Itulah Ibadah
Hajiku.”
Abdullah
bin Mubarak tertegun mendengar kisah yang dialami Ali bin Muwaffaq. Beliau
bersyukur telah dipertemukan dengan lelaki berhati emas itu. Kini beliau
mengerti mengapa Allah SWT menerima Ibadah Haji lelaki ini meski ia tak sempat
berangkat ke Makkah. Rupanya belas kasihnya yang besar kepada kaum telah
membawanya ke derajat yang tinggi hingga niat Hajinya diterima dan Haji kaum
muslim lainnya diterima pula berkatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar