Selasa, 20 September 2016

Berhaji di Rumah Tetangga




Abdullah bin Mubarok (sosok sufi terkemuka dalam masanya) merasa gembira tak terkira. Beliau baru saja menyelesaikan ritual Haji yang sangat melelahkan di Mekkah. Dengan begitu, ia telah menunaikan rukun Islam yang kelima dengan sempurna. Sesuai dengan rukun dan sunnah Haji yang diajarkan Baginda Nabi SAW. Kini rasa puas tercermin di wajahnya. Beliau merasa tidak punya tenggungan lagi yang mesti dituntaskan. Beliau pun dapat tidur dengan pulas untuk melepaskan rasa letihnya.
Di tengah tidur pulasnya, beliau mengalami mimpi yang mengusik pikirannya. Dalam mimpi yang mengusik pikirannya. Dalam mimpi itu beliau melihat dua malaikat turun dari langit menuju bumi. Sesampainya di tanah Haramain, kedua malaikat itu saling berdialog yang isinya membuat hati Abdullah bin Mubarok dilanda rasa gelisah.
            “berapa orang yang melaksanakan ibadah Haji pada tahun ini?” tanya salah satu malaikat.
            “Enam Ratus ribu orang “ jawab temannya.
            “Berapa orang yang hajinya diterima antara mereka?” tanyanya lagi.
            “Tidak seorangpun!”
Mendengar obrolan dua malaikat itu badan Abdullah bin Mubarok menjadi gemetar. Betapa tidak? Beliau sudah lelah melakukan semua prosesi Ibadah Haji, namun nyatanya tidak diterima oleh Allah SWT. Beliau juga memikirkan nasib kaum muslimin yang datang berhaji dari negeri-negeri jauh. “Apa maksud Kalian?
Orang-orang itu datang dari pelosok negeri yang jauh dengan susah payah. Mereka melintasi lembah, gunung dan padang pasir yang menghampar luas. Benarkah upaya mereka semua sia-sia?” protes Abdullah bin Mubarok kepada dua malaikat.
            “sebetulnya ada satu orang yang hajinya mabrur,” tukas malaikat. “Ia adalah tukang sepatu yang tinggal di kota Damaskus bernama Ali bin Muwaffaq. Ia tidak datang ke Baitullah (Makkah), namun hajinya diterima dan segala dosanya dihapus oleh Allah SWT. Bahkan berkat orang itu beribadah seluruh Jama’ah haji pada tahun ini diterima oleh Allah.”
            Setelah mendengarkan penjelasan malaikat tadi, Abdullah bin Mubarok spontan terbangun dari tidurnya. Hatinya resah mengingat mimpi yang baru saja dialaminya. Pikirannya pusing tujuh keliling. Ia tak mampu mencerna logika yang disampaikan dua malaikat dalam mimpinya tadi. Bagaimana mungkin Haji orang yang tidak hadir di Baitullah bisa diterima, sementara ratusan ribu orang yang berdesak-desakan di sana tidak?
            Setelah lama termenung, akhirnya Abdullah bin Mubarok menemukan jawaban. “aku harus pergi ke Damaskus untuk mencari tempat tinggal Ali bin Muwaffaq”. Gumamnya dalam hati. Beliaupun bertolak ke Damaskus dengan berjalan kaki. Sesampainya disana, ternyata tidak sulit menemukan rumah Ali bin Muwaffaq si tukang sepatu. Kebetulan sosok yang dicari-cari itu sedang berada di rumah, Ali bin Muwaffaq mempersilahkan Ulama’ besar itu untuk singgah di rumahnya yang sederhana.
Kediaman Ali bin Muwaffaq terbilang kecil dan perabotannya tidak ada yang berharga. Kursinya terbuat dari kayu yang harganya sangat murah, demikian pula meja dan pintu rumahnya. Profesi Ali bin Muwaffaq sebagai tukang sepatu memang membuat hidupnya serba pas-pasan. Setelah beberapa lama mengamati pemandangan di sekelilingnya yang serba memprihatinkan, Abdulla bin Mubarok pun mengungkapkan maksud kedatangannya. Beliau menceritakan ihwal mimpinya bertemu dua malaikat selama menempuh perjalanan Haji.
Mendengar kisah itu, Ali bin Muwaffiq yang bukan kepalang. “ Allahu Akbar!” begitu teriaknya dan ia pun jatuh pingsan lantaran saking senangnya. Tak lama kemudian ia siuman dan Abdullah bin Mubarok memintanya untuk menceritakan sebab-musabab dirinya menjadi Haji mabrur. Setelah terdiam sejenak, Ali kemudian mulai bertutur, selama tiga puluh tahun lamanya aku bercita-cita hendak menunaikan Ibadh Haji. Dari pekerjaan membuat sepatu ini, aku berhasil mengumpulkan uang sebanyak tiga ratus lima puluh dirham yang akan kupakai bekal pergi ke Makkah. Pada suatu hari terciumlah bau makanan sebelah. Istriku yang sedang ngidam hamil memohon kepadaku agar pergi ke rumah sebelah dan mengutarakan maksud kedatanganku.”
“mendengarkan permintaanku, tetanggaku itu malah menangis menjadi-jadi hingga aku menjadi prihatin. Setelah berhenti kepadaku, ‘ sebenarnya sudah tiga hari lamanya anak-anakku tidak makan hingga tergeletak mati. Aku pun menyayat sekarat daging keledai itu dan memaksanya. Jadi makanan ini halal untuk kamu dan haram bagi anda!”
“Aku sangat sedih mengettahui kondisi tetanggaku itu. Segera kuambil tabunganku yang jumlahnya tiga ratus lima puluh dirham dan kuberikansemua kepadanya. Aku berpesan agar uang itu digunakan untuk keperluan anak-anaknya. Itulah Ibadah Hajiku.”
Abdullah bin Mubarak tertegun mendengar kisah yang dialami Ali bin Muwaffaq. Beliau bersyukur telah dipertemukan dengan lelaki berhati emas itu. Kini beliau mengerti mengapa Allah SWT menerima Ibadah Haji lelaki ini meski ia tak sempat berangkat ke Makkah. Rupanya belas kasihnya yang besar kepada kaum telah membawanya ke derajat yang tinggi hingga niat Hajinya diterima dan Haji kaum muslim lainnya diterima pula berkatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar