Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentrasi,. (pendidikan tidak hanya terpusat di ibu
kota Negara saja tetapi sudah dikembangkan secara otonom di daerah yang telah
dikuasai seiring dengan ekspansi territorial).
Kajian ilmu yang ada pada
periode ini berpusat di Damaskus, Kufah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova dan
beberapa kota lainnya, seperti: Basrah dan Kuffah (Irak), Damsyik dan Palestina
(Syam), Fistat (Mesir). Diantara ilmu-ilmu yang dikembangkannya, yaitu:
kedokteran, filsafat, astronomi atau perbintangan, ilmu pasti, sastra, seni
baik itu seni bangunan, seni rupa, amuoun seni suara
Karakteristik
pendidikan pada masa bani umayyah:
1.
Bersifat bahasa Arab
dunia pendidikan masih didominasi oleh
orang-orang Arab. Hal ini disebabkan karena pada saat itu unsur-unsur Arab yang
memberi arah pemerintahan secara politik agama dan budaya.
2.
Berusaha Meneguhkan
Dasar-Dasar Agama Islam Yang Baru Muncul
Dalam pandangan mereka Islam adalah agama
dan negara, sehingga para khalifah mengutus para ulama dan tentara keseluruh
negeri untuk menyiarkan agama dan ajaran-ajarannya.
3.
Tugas penulisan
Pada masa Umayyah tugas penulisan semakin
banyak dan terbagi pada lima bidang yaitu, penulis surat, penulis harta,
penulis tentara, penulis polisi dan penulis hakim. Dengan demikian pada masa
ini terjadi Arabisasi dalam semua segi kehidupan dan bahasa arab
dijadikan bahasa komunikasi baik secara lisan maupun secara tulisan diseluruh
wilayah Islam.
4.
Membuka Pengajaran
Bahasa-Bahasa Asing
Keperluan ini semakin dirasa penting ketika
Islam dipegang oleh dinasti Umayyah, dimana wilayah Islam sudah semakin meluas
sampai ke Afrika utara dan Cina serta negeri-negeri lainnya yang bahasa mereka
bukanlah bahasa Arab
5.
Menggunakan Surau (Kuttab)
dan Masjid
pada masa ini pula didirikan masjid
zaitunah di Tunisia yang dianggap sebagai universitas tertua didunia yang
masih hidup sampai sekarang yang didirikan oleh Uqbah bin Nafi’ yang
menaklukkan Afrika utara pada tahun 50 H. Dari sini dapat dilihat bahwa fungsi
pendidikan dari masjid itu betul-betul merupakan tumpuan utama penguasa
kerajaan Umayyah pada saat itu.
Tempat-tempat Pendidikan
a.
Khuttab
Khuttab merupakan tempat anak-anak belajar
menulis, membaca, dan menghafal Al Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam, cerita nabi.
b.
Masjid
Masjid merupakan tempat pendidikan tingkat
menengah dan tingkat tinggi setelah khuttab. Pelajaran yang diajarkan meliputi
Al Quran, Tafsir, Hadist dan Fiqh. Juga diajarkan kesusasteraan, sajak,
gramatika bahasa, ilmu hitung dan ilmu perbintangan
c.
Majelis Sastra
Majelis sastra merupakan tempat berdiskusi membahas
masalah kesusasteraan dan juga sebagai tempat berdiskusi mengenai urusan
politik. Perhatian penguasa Ummayyah sangat besar pada pencatatan
kaidah-kaidah nahwu, pemakaian Bahasa Arab dan mengumpulkan Syair-syair Arab
dalam bidang syariah, kitabah dan berkembangnya semi prosa.
d.
Pendidikan istana
pendidikan yang diselenggarakan dan
diperuntukkan khusus bagi anak-anak khalifah dan para pejabat pemerintahan.
Kurikulum pada pendidikan istana diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang
kendali pemerintahan atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan
kebutuhan pemerintah, maka kurikulumnya diatur oleh guru dan orang tua murid.
e.
Pendidikan Badiah
tempat belajar bahasa Arab yang fasih dan
murni. Hal ini terjadi ketika khalifah Abdul Malik ibn Marwan memprogramkan
Arabisasi maka muncul istilah Badiah, yaitu dusun Badui di Padang Sahara mereka
masih fasih dan murni sesuai dengan kaidah bahasa Arab tersebut. Sehingga
banyak khalifah yang mengirimkan anaknya ke Badiah untuk belajar bahasa Arab
bahkan ulama juga pergi ke sana di antaranya adalah Al Khalil ibn Ahmad
Tingkatan pendidikan
1.
Dasar: di kuttab
Untuk pendidikan dasar, belajar baca tulis,
menghafal alquran, dan ajaran pokok
islam dalam alquran
2.
Menengah ke atas: di Masjid
Pada tingkat menengah gurunya belumlah
ulama besar, sedangkan pada tingkat tingginya gurunya ulama yang dalam ilmunya
dan masyhur ke’aliman dan kesalehannya.
Yang dipelajari:
a. Al-Qur’an dan tafsirannya.
b. Hadis dan mengumpulkannya.
c. Fiqh (tasri’).
Perkembangan ilmu Pengetahuan
a.
Ilmu Agama: Al-Qur’an, Hadist, dan Fiqh. Proses pembukuan
Hadist terjadi pada masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz sejak saat itulah hadis
mengalami perkembangan pesat.
b.
Ilmu sejarah dan geografi:
egala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah, dan riwayat. Ubaid
ibn Syariyah Al Jurhumi berhasil menulis berbagai peristiwa sejarah
c.
Ilmu Bahasa: yaitu segala
ilmu yang mempelajari bahasa, nahwu, saraf, dan lain-lain.
d.
Filsafat: segala ilmu yang
pada umumnya berasal dari bangsa asing, seperti ilmu mantik, kimia, astronomi,
ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran.
Gerakan-gerakan ilmiah:
a.
Penyempurnaan tulisan
Al-Quran
Dimodifikasi, menjadi ada titik dan
harakat.
b.
Penulisan hadits
Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah yang
menggagas penulisan hadits, yang kemudian beliau memerintahkan kepada walikota
Madinah Abu Bakar untuk menuliskannya, atas perintah khalifah, pengumpulan
hadits pun mulai dilakukan oleh para ulama’ diantaranya adalah Abu Bakar
Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibnu Syihab Al-Zuhri (guru Imam Malik) akan
tetapi buku hadits yang dikumpulkan oleh Imam Az-Zuhri tidak diketahui dan tidak
sampai kepada kita. Dalam sejarah tercatat bahwa yang membukukan hadits pertama
kali adalah Imam Al-Zuhri
c.
Teologi Islam (ilmu Kalam)
Berhadapan dengan pemikiran teologis dari
agama Kristen yang sudah berkembang sebelum datangnya Islam, maka berkembang pula
sistem pemikiran Islam.
Pada perkembangan selanjutnya muncul
aliran-aliran teologis Islam yang berawal dari pertentangan politis ditubuh
umat Islam yang bibitnya muncul semenjak Khalifah Ali terutama setelah
terjadinya peristiwa tahkim yang dimenangkan oleh Mu’awiyyah secara licik.
Aliran-aliran yang muncul pada saat itu adalah khawarij dan murji’ah.
d.
Madrasah hasan al-bashri
Madrasah Hasan Al-Bashri menjadi lebih
bermakna dalam sejarah peradaban karena perdebatan antara beliau dengan Washil
ibn Atha tentang kedudukan pelaku dosa besar. Suatu ketika Hasan Al-Bashri
ditanya oleh seseorang dengan berkata: “ ya tuan, kahwarij berpendapat bahwa
pelaku dosa besar telah melakukan pelanggaran yang membuat yang bersangkutan
keluar agama (kafir/murtad); sedangkan murji’ah berpendapat bahwa pelaku dosa
besar tidaklah kafir karena amal bukan sendi atau rukun iman; bagaimana menurut
tuan?” Hasan Al-Bashri berdiam sejenak untuk memberikan jawaban. Ketika
Hasan Al-Bashri bersiap-siap untuk memberikan jawaban, tiba-tiba Washil bin
Atha (muridnya) menjawab: “menurutku ia bukan mukmin dan juga bukan kafir,
tatapi berada diantara posisi mukmin dan kafir”. Setelah itu, Washil keluar
dari Hasan Al-Bashri dan membangun pendapatnya sendiri yang merupakan sintesis
dari aliran kalam yang sudah ada sebelumnya. Gagasan utamanya adalah “Al
Manzilah Bain Almanzilatain”, dan gelarnya adalah Syaikh Al-Mu’tazilat Wa
Qidimuha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar