Jumat, 16 Mei 2014

Pendidikan pada Masa Bani Umayyah

Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentrasi,. (pendidikan tidak hanya terpusat di ibu kota Negara saja tetapi sudah dikembangkan secara otonom di daerah yang telah dikuasai seiring dengan ekspansi territorial).
 Kajian ilmu yang ada pada periode ini berpusat di Damaskus, Kufah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa kota lainnya, seperti: Basrah dan Kuffah (Irak), Damsyik dan Palestina (Syam), Fistat (Mesir). Diantara ilmu-ilmu yang dikembangkannya, yaitu: kedokteran, filsafat, astronomi atau perbintangan, ilmu pasti, sastra, seni baik itu seni bangunan, seni rupa, amuoun seni suara

Karakteristik  pendidikan pada masa bani umayyah:

1.       Bersifat bahasa Arab
dunia pendidikan masih didominasi oleh orang-orang Arab. Hal ini disebabkan karena pada saat itu unsur-unsur Arab yang memberi arah pemerintahan secara politik agama dan budaya.

2.       Berusaha Meneguhkan Dasar-Dasar Agama Islam Yang Baru Muncul
Dalam pandangan mereka Islam adalah agama dan negara, sehingga para khalifah mengutus para ulama dan tentara keseluruh negeri untuk menyiarkan agama dan ajaran-ajarannya.
3.       Tugas penulisan
Pada masa Umayyah tugas penulisan semakin banyak dan terbagi pada lima bidang yaitu, penulis surat, penulis harta, penulis tentara, penulis polisi dan penulis hakim. Dengan demikian pada masa ini terjadi Arabisasi dalam semua segi kehidupan dan bahasa arab dijadikan bahasa komunikasi baik secara lisan maupun secara tulisan diseluruh wilayah Islam.
4.       Membuka Pengajaran Bahasa-Bahasa Asing
Keperluan ini semakin dirasa penting ketika Islam dipegang oleh dinasti Umayyah, dimana wilayah Islam sudah semakin meluas sampai ke Afrika utara dan Cina serta negeri-negeri lainnya yang bahasa mereka bukanlah bahasa Arab
5.       Menggunakan Surau (Kuttab) dan Masjid
pada masa ini pula didirikan masjid zaitunah di Tunisia yang dianggap sebagai universitas tertua didunia yang masih hidup sampai sekarang yang didirikan oleh Uqbah bin Nafi’ yang menaklukkan Afrika utara pada tahun 50 H. Dari sini dapat dilihat bahwa fungsi pendidikan dari masjid itu betul-betul merupakan tumpuan utama penguasa kerajaan Umayyah pada saat itu.


Tempat-tempat Pendidikan
a.       Khuttab
Khuttab merupakan tempat anak-anak belajar menulis, membaca, dan menghafal Al Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam, cerita nabi.
b.      Masjid
Masjid merupakan tempat pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi setelah khuttab. Pelajaran yang diajarkan meliputi Al Quran, Tafsir, Hadist dan Fiqh.  Juga diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung dan ilmu perbintangan
c.       Majelis Sastra
Majelis sastra merupakan tempat berdiskusi membahas masalah kesusasteraan dan juga sebagai tempat berdiskusi mengenai urusan politik.  Perhatian penguasa Ummayyah sangat besar pada pencatatan kaidah-kaidah nahwu, pemakaian Bahasa Arab dan mengumpulkan Syair-syair Arab dalam bidang syariah, kitabah dan berkembangnya semi prosa.
d.      Pendidikan istana
pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukkan khusus bagi anak-anak khalifah dan para pejabat pemerintahan. Kurikulum pada pendidikan istana diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintah, maka kurikulumnya diatur oleh guru dan orang tua murid.
e.      Pendidikan Badiah
tempat belajar bahasa Arab yang fasih dan murni. Hal ini terjadi ketika khalifah Abdul Malik ibn Marwan memprogramkan Arabisasi maka muncul istilah Badiah, yaitu dusun Badui di Padang Sahara mereka masih fasih dan murni sesuai dengan kaidah bahasa Arab tersebut. Sehingga banyak khalifah yang mengirimkan anaknya ke Badiah untuk belajar bahasa Arab bahkan ulama juga pergi ke sana di antaranya adalah Al Khalil ibn Ahmad
 
Tingkatan pendidikan
1.       Dasar: di kuttab
Untuk pendidikan dasar, belajar baca tulis, menghafal  alquran, dan ajaran pokok islam dalam alquran
2.       Menengah ke atas: di Masjid
Pada tingkat menengah gurunya belumlah ulama besar, sedangkan pada tingkat tingginya gurunya ulama yang dalam ilmunya dan masyhur ke’aliman dan kesalehannya.
Yang dipelajari:
a. Al-Qur’an dan tafsirannya.
b. Hadis dan mengumpulkannya.
c. Fiqh (tasri’).

Perkembangan ilmu Pengetahuan
a.       Ilmu Agama:  Al-Qur’an, Hadist, dan Fiqh. Proses pembukuan Hadist terjadi pada masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz sejak saat itulah hadis mengalami perkembangan pesat.
b.      Ilmu sejarah dan geografi: egala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah, dan riwayat. Ubaid ibn Syariyah Al Jurhumi berhasil menulis berbagai peristiwa sejarah
c.       Ilmu Bahasa: yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa, nahwu, saraf, dan lain-lain.
d.      Filsafat: segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing, seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran.

Gerakan-gerakan ilmiah:
a.       Penyempurnaan tulisan Al-Quran
Dimodifikasi, menjadi ada titik dan harakat.
b.      Penulisan hadits
Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah yang menggagas penulisan hadits, yang kemudian beliau memerintahkan kepada walikota Madinah Abu Bakar untuk menuliskannya, atas perintah khalifah, pengumpulan hadits pun mulai dilakukan oleh para ulama’ diantaranya adalah Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibnu Syihab Al-Zuhri (guru Imam Malik) akan tetapi buku hadits yang dikumpulkan oleh Imam Az-Zuhri tidak diketahui dan tidak sampai kepada kita. Dalam sejarah tercatat bahwa yang membukukan hadits pertama kali adalah Imam Al-Zuhri 
c.       Teologi Islam (ilmu Kalam)
Berhadapan dengan pemikiran teologis dari agama Kristen yang sudah berkembang sebelum datangnya Islam, maka berkembang pula sistem pemikiran Islam.
Pada perkembangan selanjutnya muncul aliran-aliran teologis Islam yang berawal dari pertentangan politis ditubuh umat Islam yang bibitnya muncul semenjak Khalifah Ali terutama setelah terjadinya peristiwa tahkim yang dimenangkan oleh Mu’awiyyah secara licik. Aliran-aliran yang muncul pada saat itu adalah khawarij dan murji’ah.   
d.      Madrasah hasan al-bashri
Madrasah Hasan Al-Bashri menjadi lebih bermakna dalam sejarah peradaban karena perdebatan antara beliau dengan Washil ibn Atha tentang kedudukan pelaku dosa besar. Suatu ketika Hasan Al-Bashri ditanya oleh seseorang dengan berkata: “ ya tuan, kahwarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar telah melakukan pelanggaran yang membuat yang bersangkutan keluar agama (kafir/murtad); sedangkan murji’ah berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah kafir karena amal bukan sendi atau rukun iman; bagaimana menurut tuan?” Hasan Al-Bashri berdiam sejenak untuk memberikan jawaban. Ketika Hasan Al-Bashri bersiap-siap untuk memberikan jawaban, tiba-tiba Washil bin Atha (muridnya) menjawab: “menurutku ia bukan mukmin dan juga bukan kafir, tatapi berada diantara posisi mukmin dan kafir”. Setelah itu, Washil keluar dari Hasan Al-Bashri dan membangun pendapatnya sendiri yang merupakan sintesis dari aliran kalam yang sudah ada sebelumnya. Gagasan utamanya adalah “Al Manzilah Bain Almanzilatain”, dan gelarnya adalah Syaikh Al-Mu’tazilat Wa Qidimuha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar